mining-440743_640

Hingga hari ini pertambangan masih menjadi industri menggiurkan di Indonesia. Banyak “orang kaya baru” karena hasil pertambangan, terutama di luar Jawa. Tetapi apakah negara memperoleh manfaat yang sepantasnya atas kekayaan alam tersebut? Ini masih jadi pertanyaan.

Sumber daya mineral dan batubara sudah seharusnya memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat, tapi cerita yang beredar sungguh tidak mirip dengan bunyi UUD 45. Suatu hari saya berkesempatan pergi ke Balikpapan dan membuat kelas terbuka di sebuah acara pameran pembangunan daerah. Di antara yang hadir, ada dua anak kecil yang jongkok di depan panggung memperhatikan saya dengan seksama. Waktu saya turun dari panggung, dua anak ini mendekati dan minta foto. Usai foto saya minta anak tersebut menuliskan nama dan alamatnya. Saya tertegun waktu mereka hanya memegang pensil dan kertas sambil bergumam, “Kak, kami gak bisa nulis.” Usia mereka 12 dan 10 tahun, gak bisa baca tulis. Ketika saya ajak ngobrol, mereka pun bercerita tidak bisa bersekolah karena orangtuanya tidak punya uang untuk mengurus Kartu Keluarga. Kalau gak punya kartu keluarga gak bisa diterima sekolah, padahal konon pendidikan dasar wajib dan gratis. Alhasil dua anak tersebut belum pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Pertemuan saya dengan 2 anak tersebut di sebuah acara pameran kesuksesan pembangunan kota yang maju karena hasil tambang. Kedua anak tersebut tinggal gak jauh dari kawasan pertambangan yang sangat besar di Kalimantan. Bukan hanya keluarga anak tersebut, tetapi saya yakin masih banyak cerita serupa di berbagai kawasan pertambangan. Ironis dan sekaligus miris.

Pengerukan kekayaan alam secara besar-besaran dan pengelolaan yang tidak memperhatikan lingkungannya lambat laun akan menggerus industri itu sendiri. Begitulah hukum alam terjadi. Mungkin kemaren dan sekarang para pengusaha tambang bersenang-senang karena hasil berlimpah ruah, tetapi bagaimana dengan masa mendatang? Akankah lokasi pertambangan berakhir menjadi kuburan industri yang lahannya pun sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Akhirnya masyarakat lokal semakin miskin dan tidak berdaya.

Pemerintah dengan menetapkan UU Minerba, ingin menyelamatkan kekayaan alam terutama mineral dan batubara. Walaupun mungkin agak terlambat, tetapi patut dihargai dan didorong terus implementasinya. Salah satu poin pentingnya adalah kewajiban membangun smelter bagi perusahaan pertambangan, supaya ada proses pengolahan dan memberikan nilai lebih atas hasil tambang bagi pemasukan negara. Di samping itu akan semakin terbuka lapangan pekerjaan di lokasi smelter sehingga diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Apa itu smelter, pernah saya tuliskan di sini. Beberapa perusahaan tambang sudah siap melakukan pembangunan smelternya, untuk itu kita juga harus siap dengan tenaga ahli dan teknisinya. Sudah cukup lama kita hanya melihat hasil tambang mentah diangkut ke luar negeri, dan hanya sedikit orang Indonesia yang menikmati hasilnya. Dengan kewajiban membangun smelter di sini, diharapkan makin banyak masyarakat lokal sekitar pertambangan bisa menikmati hasilnya.

Dengan UU Minerba, dan dibangunnya smelter di setiap industri pertambangan, semoga cerita pilu masyarakat sekitar semakin berkurang. Mereka harus punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan akses perekonomian sehingga kelak dapat mengelola wilayahnya sendiri dengan baik. Larangan ekspor bahan mentah, menjadi peluang untuk lebih memberikan manfaat bagi negeri ini. Yang perlu dilakukan adalah terus menerus mendorong pemerintah agar mengimplementasikan UU Minerba dan tegas menetapkan aturan kewajiban membangun smelter bagi pengusaha tambang. Butuh kesungguhan dari pemerintah, karena kalau tidak dilakukan sekarang maka kesempatan untuk mensejahterakan masyarakat akan hilang selamanya. Ketika sumber daya alam habis dikeruk, para pengusaha itu tinggal angkat kaki dan pergi mencari bisnis baru. Sedangkan masyarakat lokal hanya bisa gigit jari ditinggali tanah berhektar-hektar yang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi.

3 Replies to “Menjemput Harapan”

Tinggalkan Balasan