Pada suatu ketika dalam kelas Akademi Berbagi, sang pengajar Shafiq Pontoh bercerita tentang background pendidikannya di ITB. Dia sangat menyukai seni dan ingin masuk jurusan seni rupa ITB tetapi tidak dikabulkan oleh orang tuanya. Dengan berbagai cara dan upaya, Shafiq berusaha keras untuk mendapatkan pendidikan dibidang yang dia senangi. Tetapi orang tua terus menentang, menurut mereka seni tidak ada masa depannya. Setelah segala upaya gagal, Shafiq pun menyerah mengambil jurusan Fisika di ITB berharap ada yang dia sukai dari situ. Karena passion-nya terhadap bidang seni dan kreatif sangat tinggi, pada akhirnya dia pun terdampar di bidang pekerjaan yang sarat dengan seni dan kreativitas yaitu : Strategic Planner di sebuah perusahaan iklan besar : Ogilvy.
Kasus saya mirip dengan Shafiq dimana orang tua yang menentukan jurusan apa yang harus saya ambil di perguruan tinggi. Dan sama juga dengan Shafiq, pekerjaan saya sekarang tidak ada hubungan dengan background pendidikan saya. Kalau dicari baiknya, selalu ada hikmahnya pasti. Saya jadi paham keuangan karena pendidikan saya akuntansi dan bisa menyusun angka-angka dari sebuah project. Tetapi pemilihan jurusan yang kurang tepat membuat saya berjuang extra keras untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan passion. Butuh belajar lebih banyak, mencoba berkali-kali dan salah, jatuh bangun dan hampir putus asa menjadi bagian hidup. Tidak menyerah kemudian yang menjadi kunci dari seluruh perjalanan karir saya.
Berkaca dari kasus Shafiq dan saya, berapa banyak orang tua yang serperti orang tua kami? Kenapa mereka memaksakan pilihan mereka kepada anaknya, sedangkan kata para cendekia masa depan anak adalah milik anaknya sepenuhnya, orang tua bahkan tidak bisa memahami apalagi mencampuri. Bukankah dengan memaksakan mimpi orang tua kepada anak seringkali justru menyulitkan langkah anaknya di masa depan?
Kini saya menjadi orang tua dan menyadari kenapa orang tua terkadang begitu mencampuri bahkan menyusun jalan menuju masa depan anaknya. Menjadi orang tua tidak mudah, tanggung jawabnya luar biasa yaitu harus merawat dan mendidik sehingga menjadi anak baik dan berguna. Mempersiapkan masa depan mereka yang entah akan seperti apa, hanya belajar dari masa lalu serta trial and eror. Tidak ada satu petunjuk atau tips mejadi orang tua yang ideal serta beragam tantangannya lainnya.
Orang tua selalu ingin memastikan bahwa anaknya kelak baik-baik saja, begitu juga saya, yang kemudian berlebihan dalam menjaga amanahNYA. Rasa bahwa anak milik kita, kita yang lebih tahu dari anaknya karena kita hidup sudah lebih lama terkadang melupakan bahwa anak adalah sama dengan kita, punya hati punya mimpi yang seringkali berbeda dengan mimpi orang tuanya. Sampai berapa lama kita sebagai orang tua mendampingi? Kita tidak tahu kapan dipanggil Sang Pemilik. Seperti kejadian barusan almarhum Adjie Mas’aid, meninggalkan anaknya dalam usia yang masih sangat kecil. Boro-boro soal masa depan, mungkin value yang ingin diajarkan belum sepenuhnya tersampaikan.
Menjaga dan merawat anak tetap sebagai amanah yang suatu saat harus kita kembalikan ke Pemiliknya dalam keadaan baik itu berat sekali buat saya pribadi. Saya begitu mencintai anak saya, ingin dia selalu bahagia, hidupnya lancar tidak ada kesulitan berarti dan kelak jika saya pergi dia sudah bisa mandiri dan sukses. Duuh…indeal banget ya! Keinginan itu saya yakin juga diinginkan oleh banyak orang tua, sehingga kita seringkali salah menterjemahkan kasih sayang menjadi suatu pemaksaan. Mimpi kita tentang suatu profesi yang keren belum tentu sama dengan mimpi anak kita dan belum tentu di masa depan kelak profesi itu tetap keren. Jangan-jangan sudah tidak ada. Rene dalam bukunya menuliskan dalam satu tahun terakhir ini banyak profesi-profesi baru bermunculan yang dulu tidak terpikir sama sekali, bahkan beberapa profesi yang dulu unggulan sekarang sudah tidak menjual lagi.
Jadi masih mau sotoy terhadap masa depan dan pilihan anak? Saya sih … teteeup haha, ya saya orang tua posesif, dan seringkali kuatir berlebihan. Saat ini saya sedang mengikis pelan-pelan rasa memiliki dan ingin mengatur semua kehidupan anak saya secara berlebihan. Mencoba mengikhlaskan bagian-bagian yang sebenarnya bukan domain saya sebagai orang tua. Ada domain Tuhan dalam hidup anak saya, dan saya tidak perlu mengambil alih tugasNYA.
Teringat salah satu tweet Kang Lantip tentang asuransi. Bahwa asuransi dan persiapan dana untuk masa depan itu tidak lebih penting daripada melunasi hutang. Mempersiapkan segala kebutuhan anak jika kelak mati, seakan-akan kita yakin anak kita tidak mampu berdiri sendiri dan melupakan Tuhan sang pemilik hidup. Saya tertohok sangat. Saya orang tua posesif yang merasa anak harus dijaga terus dan tetap aman sampai kapan pun.
Tuhan ada dan tidak pernah membiarkan makhlukNYA sendirian. Selalu ada invisible hand yang akan terus terulur sampai kapan pun. Bukan saya kemudian menganggap asuransi tidak bagus. Mempersiapkan segala sesuatu itu baik dan sudah seharusnya tetapi dalam batas keyakinan bahwa kuasa Tuhan tetap di atas semuanya dan pertolonganNYA tiada batasnya. Tidak memaksakan kehendak pribadi saya dengan mengatasnamakan perintah orang tua harus dijalankan, serta memberikan dia ruang kebebasan untuk berekspresi, berpendapat dan berkeinginan. Yakinlah bahwa anak-anak kita bisa menemukan jalan kesuksesannya sendiri.
Ada hal-hal prinsip yang memang harus kita tegakkan kepada anak, ada hal-hal yang wajib diterima anak sebagai sebuah value yang kita anut bersama tetapi selebihnya anak boleh memiliki mimpi dan value yang berbeda sepanjang tidak merugikan dirinya dan orang lain. Keselamatan anak di dunia dan di akherat adalah tanggung jawab saya sebagai orang tua dalam batas kemampuan sebagai manusia. Selebihnya biar Tuhan yang bekerja, DIA maha Tahu apa yang terbaik buat putra-putri kita dan saya percaya Tuhan tidak pernah melepaskan genggamanNYA kepada kita dan anak-anak kita.
*Catatan seorang ibu yang melahirkan anak perempuan dengan penuh perjuangan dan kesulitan luar biasa sehingga menjadi orang tua yang posesif dan sotoy :D *
Nek aku nduwe anak,ngko tak bebasken kalau dia mau keliling dunia. Kalo dia mau kerja, kerjaan ngga “keren”. Asal sing penting siji, “Migunani tumrap ing liyan.”
*komen seorang bujangan sing durung laku2 nduwe bojo, apa mening anak* ehehehe
saya juga masih gitu kok mbak, rasa khawatir kan lumrah aja…. walaupun akhirnya saya nggak bisa membelokkan pilihan mereka, tapi rasanya kurang afdol aja kalo nggak “berdebat” dulu … :D
like this post!
saya merupakan salah satu yang mengalami posesifnya orang tua, dari memilih sekolah-memilih jurusan “diarahkan” oleh mereka, sampai saya akan menikah pun demikian…..saya ngga berani melawan krn ujung2nya mereka menggunakan kalimat sakti :”durhaka”
tapi saya jadi belajar dari pengalaman ini, insyaallah jika saya jadi orang tua nanti, saya tidak akan se-posesif mereka
he’eh maaf jadi curhat :)
Hai devy gak papa curhat, karena curhat adalah bagian untuk menjaga kita tetap waras… hehee…semoga kita selalu diberi kebijaksanaan dan kesabaran :)