Beberapa bulan lalu ngobrol dengan teman-teman serta CEO, mereka menanyakan apakah perusahaan yang target marketnya bisnis (B2B) perlu memiliki social media channel?

Sempat memikirkan itu dengan seksama, dan saya tidak mau memberi jawaban sekedar “ya harus punya” karena saya bekerja sebagai social media strategist sehingga harus promosi “dapur” saya. Tetapi memang ada alasan yang signifikan perlu atau tidaknya. Ketika percakapan itu terjadi, saya melihat dan mengamati beberapa perusahaan di luar negeri yang targetnya B2B sudah aktif di social media. Apakah mereka mendapatkan benefit atas investasinya di social media? Atau hanya sekedar perpanjangan tangan public relation saja?

Beberapa studi kasus kemudian menjawab hal itu. Tetapi saya belum menemukan jawaban yang cukup signifikan kenapa B2B perlu ada di social media. Hingga sore ini saya membaca serial twit dari mas @mantriss beliau cukup lama berkecimpung di dunia migas dengan target market B2B membahas tentang peran PR yang naik pangkat di industri-industri besar termasuk oil and gas. Apa yang ditulis Mas @mantriss pasti berdasarkan pengalaman beliau selama bekerja di perusahaan oil and gas. Dan apa yang tertuang di twitternya memberikan jawaban yang valid tentang komunikasi menjadi point penting dalam industri. Dulu PR adalah posisi kelas 3 di dalam struktur bisnis, sekarang bahkan sudah ada posisi selevel direktur untuk PR. Dulu PR hanya menerima hasil rapat kerja untuk diimplementasikan, sekarang mereka ikut terlibat di dalam perencanaan. Masyarakat yang semakin melek informasi dan isu-isu sosial yang semakin kompleks bisa menyumbang kerugian besar jika tidak dipelihara dengan baik. Jika dulu, kerugian bisa jadi hanya timbul dalam sebuah proses produksi, tetapi sekarang proses komunikasi yang salah kepada publik pun bisa menimbulkan kerugian besar bahkan untuk perusahaan B2B sekalipun. Misalnya ketika publik marah atas kehadiran pabrik kemudian menutup paksa operasional karena tidak dikomunikasikan dengan benar oleh perusahaan, atau demo buruh dan melibatkan masyarakat akibat proses merger perusahaan yang tidak dikomunikasikan dengan benar. Banyak hal buruk terjadi akibat komunikasi yang salah, dan banyak kerugian bisa diminimalisir dengan komunikasi yang benar (baca buku: Communicate or Die dari Thomas D.Zweifel,PhD)

Lalu bagaimana dengan social media? Saat ini, jika membicarakan komunikasi, tidak bisa lepas lagi dengan social media. Masyarakat Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk yang besar di social media. Bentuk komunikasi di social media menjadi kanal yang sehari-hari bisa dijumpai. Pertumbuhan penjualan smartphone di Indonesia sangat signifikan, sehingga berbondong-bondong perusahaan smartphone membanjiri Indonesia. Dalam sebuah kelas yang dihadiri 100 orang lebih saya membuat survei kecil dengan pertanyaan apa yang dilakukan pertamakali ketika bangun tidur. 70% menjawab mencari HP dan memeriksa social media. Social media menjadi alat komunikasi  antar sesama pribadi maupun dengan brand atau lembaga. Kemudahan mengakses social media menurunkan jumlah orang yang mengunjungi customer service dengan telepon atau datang langsung ke counter. Social media menjadi sebuah media raksasa di mana semua orang bisa berinterkasi lintas geografis, strata sosial dan institusi.

Lalu apa manfaatnya perusahaan B2B ada di social media? Ketika kita membicarakan manfaat, bukan semata-mata kenaikan sales, tetapi juga tentang antisipasi potensi kerugian dan efisiensi. Dengan melakukan komunikasi langsung via social media banyak benefit yang bisa diperoleh, diantaranya mengantisipasi kerugian akibat konflik dengan masyarakat. Interaksi komunikasi melalui social media dapat membangun komunikasi langsung dan transparan sehingga menghindari miss komunikasi dan bahkan bisa memperoleh dukungan dari mereka. Dengan memanfaatkan social media kita bisa melakukan efisiensi proses rekruitmen, mempermudah tracking kandidat dan monitoring karyawan. Memperkuat brand di mata publik dan target market dengan menyebarkan value dan knowledge serta memberikan edukasi mengenai leadership. Memudahkan target market untuk mencari informasi, sehingga membuka opportunity baru.  Toh bisnis yang menjadi target market kita juga terdiri dari orang-orang yang sangat mungkin ada di social media. Masyarakat bisa memberi masukan langsung dan obyektif dengan cara mengamati percakapan mereka di online. Program CSR pun bisa tepat sasaran dengan melibatkan publik secara langsung via social media. Ketika masyarakat mengenal dan kemudian terlibat langsung dalam diskusi (pertukaran content) di online maka posisi perusahaan akan semakin kuat.

Saat ini para jurnalis pun banyak yang nongkrong di social media. Jika selama ini dalam meluncurkan produk baru selalu menggunakan metode “press conference” dengan jumlah media yang terbatas, channel social media membuat sebarannya  lebih luas dan lebih efisien. Bila perlu CEO bisa menyebarkan pidato peluncurannya melalui youtube yang bisa dilihat serta diunduh berkali-kali sehingga jangkauan pun semakin luas.

Kesadaran publik atas lingkungan juga ikut mempengaruhi meningkatnya potensi terjadinya konflik sosial. Apalagi jika perusahaannya melakukan bisnis yang punya dampak terhadap lingkungan. Keterbukaan antara publik dan perusahaan menjadi penting, sehingga tidak terjadi salah paham dan menimbulkan konflik yang berakibat pada kerugian secara material. Bahkan perusahaan bisa mendapatkan masukan langsung dari masyarakat ketika akan membuka pabrik misalnya sehingga meminimalisir dampak kerusakan lingkungan. Social media memungkinkan itu semua terjadi.

Bukan saatnya lagi bertanya apakah B2B perlu ada di social media atau tidak, tetapi yang perlu dipikirkan adalah bagaimana caranya B2B masuk di ranah social media dan bisa memberikan manfaat baik bagi perusahaan maupun publik. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah : gunakan social media untuk mendengar. Komunikasi yang baik dimulai dengan mendengar.

Selamat datang di era social media dalam genggaman 24 jam.

 

4 Replies to “Social media for B2B”

Tinggalkan Balasan