Coba tebak apa yang diributkan ibu-ibu rumah tangga di kota besar saat ini? Bukan beras langka, kenaikan harga atau antrian panjang mencari sembako. Tetapi mencari sepotong es krim karena seharian anaknya merengek-rengek minta es krim seperti di TV. Yach, es krim Magnum Belgian Chocolate berhasil membius bukan hanya anak-anak tetapi juga orang dewasa karena iklan di TV yang begitu menggoda serta buzzing di social media yang jor-joran.

Sebuah promosi yang sukses dengan menggunakan semua lini, iklan di TV, event di Senayan City dan penggunaan social media membuat es krim tersebut jadi pembicaraan dan dicari banyak orang. Orang pun beramai-ramai berburu sang Magnum. Mendadak buuummmm..!!! Barang hilang dari pasaran. Apakah ada yang memborong, menimbun atau sengaja dihilangkan? Timbullah dugaan orang-orang bahwa itu sengaja dibuat hilang, sehingga orang semakin penasaran, tetapi ada juga yang menduga bagian distribusi tidak siap dengan gencarnya usaha marketing yang mendapat sambutan luar biasa. Lagu lama “High promises low delivery “.

Saya tidak tahu persis mana yang benar, yang jelas banyak konsumen kesulitan mencari es krim Magnum. Seperti kejadian minggu lalu ketika saya belanja di salah satu hypermarket di Jakarta Selatan, dua orang ibu marah-marah kepada salah satu SPG es krim karena tidak menemukan Magnum. Ibu tersebut mengaku jengkel sudah ke berbagai toko tidak ada, dan berharap di supermarket besar bakalan nemu. Ketika dijelaskan bahwa memang stock sudah habis tadi siang, si dua ibu tersebut tetap tidak percaya dan justru menuduh itu semua tipuan. Jadilah SPG tersebut diomel-omelin dan dibilang berbohong sambil menyeret anaknya yang menangis tidak mendapatkan es krim impiannya.

Saya pernah dengar beberapa perusahaan memang sengaja begitu. Mebuat promosi besar-besaran sehingga menjadi bahan perbincangan tetapi produk belum ada di pasaran. Hal itu sengaja dibuat agar konsumen semakin penasaran dan perbincangan produk tersebut menjadi “panjang”. Ujung dari design komunikasi itu adalah ketika produk tiba di pasaran, bakal diserbu konsumen laris manis bak kacang goreng. Serta brand tersebut akan melekat terus dibenak konsumen. Contoh yang berhasil melakukan hal tersebut adalah perusahaan otomatif dan gadget. Tetapi kalau makanan, atau consumer goods apakah cocok dengan model yang begitu? Menurut pandangan saya, benda-benda yang habis pakai umur menjadi perbincangannya pendek, subtitusinya banyak sekali dan konsumen sangat mudah beralih. Jarang yang sedemikian loyal sehingga mau menunggu hingga produk tersedia. Jangan-jangan malah ada produk kompetitor yang menyalip di tikungan, memanfaatkan kejengkelan konsumen. Alhasil ketika produk menyerbu ke pasaran, masyarakat sudah lupa bahkan kehilangan selera.

Jadi apakah Magnum susah di pasaran itu sengaja atau masalah produksi dan distribusi yang tidak cepat dan merata? Saya tidak paham, tetapi apakah tepat menahan produk dari pasaran untuk memperpanjang rasa “penasaran” sehingga Magnum akan melekat di hati? Selamat berburu Magnum, ditunggu lelehannya di segala penjuru negeri! 

Tinggalkan Balasan