Beberapa minggu ini, anakku sibuk dengan kegiatan ACEX (Art, Culture, Education and Sport Exhibition) di sekolahnya, SMP Labschool Kebayoran. Selain jadi panitia, anakku masuk dalam tim basket putri. Setiap pertandingan, dia selalu mengundang aku untuk datang dan memberi dukungan. Sebagai ibu bekerja, aku memang harus mendampingi anak dalam hal apa pun. Tapi, kondisinya, kadang aku bisa datang kadang tidak. Dan anakku paham itu. Dia selalu bertanya dulu jadwalku memungkinkan atau tidak untuk hadir.
Menyaksikannya Bertanding Basket
Minggu lalu, kebetulan jadwal agak lowong maka aku pun datang ke sekolah anakku, menyaksikan dia bertanding basket.
Ada rasa berat setiap duduk di bangku penonton menyaksikan anakku bertanding. Kenapa? Sejujurnya aku tidak siap melihat anakku kalah dalam bertanding. Tetapi sebagai ibu yang baik, aku harus selalu semangat dan memberikan dukungan penuh apa pun yang terjadi. Mules, ya mules deh!
Ketika dikabari lawan tandingnya salah satu sekolah yang jago banget tim basketnya, perutku langsung melilit mules. Duh, kalah nih kayaknya. Tetapi gak boleh pesimis dong! Harus tetap optimis. Semangat!
Kemudian pertandingan pun dimulai. Harus diakui, lawannya sangat tangguh dan keren mainnya. Beberapa kali, tim anakku kedodoran menghadapinya. Ketika score demi score terus menanjak di angka lawan, aku pun menyiapkan diri untuk menghadapi anakku. Bagaimana pun juga, mentalku yang harus disiapkan dulu, sebelum menenangkan mental anakku.
Mendampingi Anak Belajar Menerima Kekalahan
Kebanyakan ibu-ibu seperti aku juga, ingin anaknya selalu menang. Bayi yang dikandung kemudian dirawat sepenuh hati, jiwa dan raga hingga tumbuh besar, inginnya selalu bahagia dan jauh-jauh dari segala kekecewaan dan mara bahaya.
Di satu sisi, aku juga sadar, sebagai ibu harus menyiapkan anaknya untuk hidup di dunia yang tidak hanya indah, tetapi juga banyak hal buruk dan kekecewaan yang bakal dialami.
Tetapi kadang pengin melarikan diri dari bagian “melatih anak menghadapi pahitnya hidup.” Gak tega melihat hati anak luluh lantak.
Oke, pertandingan pun usai. Tim anakku kalah telak. Aku pun mempersiapkan diri untuk menghadapi muka sedih anakku dan menyusun kalimat penghiburan supaya dia gak kecewa-kecewa amat.
Turun dari tempat duduk penonton, aku menuju ruang ganti pemain cewe. Dari kejauhan aku sudah melihat anakku dan bisa merasakan kesedihannya. Namanya juga ibu, gelombang rasa anaknya sudah pasti nyampai duluan sebelum bertemu bodinya.
Sebelum aku membuka mulut, anakku sudah bicara duluan, “Ibuk gak usah menghiburku. Ibu gak usah bilang mainnya aku bagus. Mainku jelek.”
Oh. Aku pun terdiam beberapa detik. Sambil menarik napas, aku bicara pelan-pelan, “Iya, Nak, kamu mainnya gak bagus. tandanya kamu harus lebih banyak latihan dan lebih berani lagi di lapangan.”
Berat rasanya menyampaikan itu. Gak sanggup melihat gelayut kecewa di mukanya.
Kami berdua terdiam beberapa saat, sampai kemudian kuraih kepala anakku dan aku pun memeluk erat dalam diam. Anakku pun membalas pelukan dengan erat. Diam, tanpa ada pembicaraan apapun. Kami hanya berpelukan.
Belajar Kalah itu Berat
Hari itu aku belajar bersama anakku menghadapi kekalahan tanpa menyalahkan pihak mana pun, atau menghibur dengan kalimat-kalimat yang kosong. Kami belajar menerima rasa sedih dan kecewa. Memang begitu adanya. Kami menikmati kesedihan ini berdua. Tidak ada kata-kata menghibur, hanya berpelukan.
Dalam hidup, kesedihan demi kesedihan akan datang dalam berbagai bentuk. Berdamai dan menerima adalah pelajaran tersendiri. Hidup tidak selalu menang. Banyak kekalahan yang harus dijalani untuk bisa meraih kemenangan dengan benar.
Sering kali kita diajarkan untuk selalu menang, bahkan dengan cara-cara yang tidak benar, yang penting dapat penghargaan. Padahal mengajarkan kekalahan sama pentingnya dengan kemenangan itu sendiri. Belajar menerima apa yang kurang untuk kemudian memperbaiki diri tanpa perlu menyalahkan pihak lain.
Kekalahan adalah pembelajaran juga. Cuma sering kali kita menghindari karena malu, sakit hati atau kecewa. Padahal dalam kekalahan sering kali menyimpan banyak resep untuk memenangkan pertandingan hidup.
Sebagai ibu, walau pahit, aku akan terus mengajarkan dan mendampingi anak untuk menerima kekalahan dan berdamai dengan kekecewaan untuk kemudian bangkit dan melompat lebih tinggi.