semua orang pada dasarnya adalah pemimpin, dalam berbagai tingkatan dan cakupannya. Tetapi ada yang mengambil peran itu ada yang menghindarinya”

 

Saya baru membaca postingan blog Mas Kris Moerwanto pemrednya Jawa Pos di sini, jadi teringat kegelisahan saya selama ini. Saya dan mas Kris sama-sama hadir di acaranya GE Indonesia dalam diskusi “Pengembangan SDM guna meningkatkan daya saing Indonesia di kancah Global”. Mendengarkan paparan Mas Anies Baswedan tentang kualitas SDM kita dikarenakan sistem pendidikan dan kesempatan sekolah yang tidak merata menimbulkan kekhawatiran yang mendalam. Indonesia selama ini lebih mengagung-agungkan kondisi alamnya, bukan manusianya maka mungkin itu yang menyebabkan berganti-gantinya Presiden tidak ada satu pun yang menjadikan pendidikan sebagai program utama. Padahal menyemai sumber daya manusia butuh waktu bukan hanya satu dua tahun tapi bisa puluhan tahun. Negara lain terutama di Asia sudah mulai dari 20 tahun yang lalu dan sekarang mereka menuai bibit unggul yang telah ditanam sebelumnya. Mas Anies juga menyatakan bahwa penyebutan sumber daya manusia menjadikan kita hanya sebagai bagian dari industri kapital, dan itu mengecilkan arti manusia itu sendiri.

Mengunjungi makam pemimpin dunia

Ketika semua di ruangan itu, mungkin concern bagaimana menyiapkan pemimpin-pemimpin yang siap bersaing di kancah global, pikiran saya lari ke Bula sebuah kabupaten baru di pulau Seram. Kebetulan saya pernah ke sana dan berbagi ilmu dengan adik-adik SMU & SMK. Jangankan siap jadi pemimpin global, untuk kehidupannya sendiri saja mungkin masih tanda tanya. Besar dalam lingkungan keluarga nelayan miskin atau jadi buruh di perusahaan pengeboran minyak, yang kepikir adalah bagaimana bekerja meneruskan apa yang telah dilakukan oleh orang tuanya tanpa punya pikiran inovasi. Cita-cita tertingginya adalah bekerja di Jawa entah jadi apa mereka pun belum paham. Bicara kepada mereka tentang global leader? Entar dulu. Gambaran seperti itu bukan hanya di pulau Seram, masih banyak generasi muda yang seperti itu, dan bukan hanya di luar Jawa tetapi di pulau Jawa pun masih banyak.

Memiliki kegiatan Akademi Berbagi membuat saya bertemu banyak orang dari berbagai daerah dan berbagai lapisan. Seringkali orang menyebut kalau Indonesia Mengajar adalah gerakan yang lebih profesional dan intelektual, maka Akademi Berbagi adalah gerakan grass root. Mungkin benar, dan saya juga menyadari Akademi Berbagi adalah gerakan yang tumbuh dari bawah dengan cita-cita sederhana membuka kesempatan belajar bagi siapa saja langsung dengan para praktisi. Kenapa praktisi? Karena kita bukan hanya belajar ilmunya tetapi juga pengalamannya sehingga saya harap yang datang bukan sekedar menambah pengetahuan tetapi juga memahami prosesnya.

Akhirnya saya menginjakkan kaki di Washinton DC, membayangkan pun tidak.

Grass root dan elite seakan terpisah. Masing-masing memiliki permasalahan yang cukup kompleks. Kalau konon lulusan universitas saja belum siap menghadapi persaingan global bagaimana dengan masyarakat grass root yang terbatas pendidikannya? Saya jadi ingat pada sebuah pertemuan dengan pengusaha ternama. Beliau bilang susah mengurus orang-orang yang berpendidikan tapi pas-pasan, karena dikasih tahu suka sok tahu tetapi dibiarkan masih gak tahu. Mendingan ngurus anak-anak saja, dari kecil mereka dididik dan dipersiapkan untuk menjadi pemimpin masa depan yang tangguh. Betul juga apa kata beliau. Tetapi jika semua concern pada anak-anak, dan masyarakat dewasa yang terdidik supaya siap di kancah global, lalu bagaimana dengan masyarakat dewasa yang nanggung ini? Tidak terdidik-didik amat tetapi sudah bukan anak-anak? Kalau dibiarkan, apa yang terjadi dengan mereka?

Ketika saya bikin Akademi Berbagi, dan targetnya adalah mahasiswa dan pekerja dengan tujuan membuka wawasan dan mengasah softskill mereka, saya dibilang gila. Bukannya mereka sudah bisa mengurus diri sendiri. Seharusnya. Tetapi pada prakteknya masih banyak dari mereka bahkan mau bekerja sebagai apa mereka tidak tahu padahal sudah lulus kuliah atau SMU. Atau sudah bekerja tetapi gitu-gitu aja yang penting dapat duit cukup gak cukup. Dan yang seperti itu banyak sekali. Jujur diakui kualitas pendidikan di Indonesia memang memprihatinkan, kita dituntut untuk mencari sendiri ilmu dan pengetahuan – di luar sekolah- demi melengkapi konten pendidikan yang compang-camping. Lagi-lagi masalahnya pasti uang. Sekolah sudah mahal, ditambah mencari ilmu di luar harus bayar berapa lagi. Itulah yang mendasari saya membangun gerakan Akademi Berbagi. Apa yang tertulis di atas sedikit banyak saya juga mengalami.

Masalah yang ada adalah tidak semua punya kemampuan dan kesempatan untuk menambah ilmu di luar dari pendidikan formal. Maka dari itu kegiatan Akademi Berbagi tetap dibiarkan gratis, rutin dan ada di banyak kota. Cita-cita saya sederhana, teman-teman yang terdidik tapi nanggung atau tidak terdidik sama sekali, bisa belajar untuk membangun dirinya sendiri. Paling tidak bisa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain atau menjadi pengangguran. Jika mereka ini akhirnya bisa mandiri, menghidupi diri sendiri maka tidak akan jadi beban negara syukur-syukur bisa membantu lingkungan sekitar.

Gerakan volunteering yang saya bangun melalui Akademi Berbagi sekaligus melengkapi skill mereka dengan kesadaran tentang hidup yang bernilai, bukan materialistik semata. Ketika mereka memiliki kearifan sebagai manusia yang punya arti untuk sesama dan bisa mandiri itu sudah sangat berarti bagi saya pribadi.

Bagaimana nanti ketika batas antar dunia telah hilang, dan semua harus bersaing secara global sedangkan kita tidak punya kompetensi? Saya percaya, ketika pribadi-pribadi warga Indonesia ini cukup tangguh dan mempunyai value sebagai manusia mereka akan bertahan. Mosok cita-citanya cuma bertahan? Lagi-lagi saya mengukur diri, dan melihat di lapangan permasalahan yang begitu besar serta kompleks. Mendingan saya melakukan yang saya bisa sesuai kemampuan. Ada perubahan dari manusia yang “pokoknya hidup” menjadi manusia yang mandiri bisa bermanfaat untuk sesama itu pencapaian yang luar biasa.

Saya percaya banyak orang-orang yang concern dan mau turun tangan untuk ikut membantu membenahi kualitas manusia Indonesia, dan mereka yang punya akses serta kemampuan lebih bisa membantu melahirkan pemimpin yang mampu bersaing di kancah global. Saya dengan kapasitas yang saya memiliki membantu teman-teman yang di level nanggung ini untuk mandiri dan sukur-sukur menjadi pribadi yang berani serta percaya diri.

tempat di mana dulu saya hanya berani bermimpi tanpa tahu kapan akan terwujud. Dan saya akhirnya di sini. New York.

Skill bisa dipelajari, dan ketika kita punya keberanian sangat mungkin untuk membuat lompatan besar. Begitu pun yang terjadi dengan saya, manusia kelas nanggung terdidik secara nanggung dan yang penting bisa hidup akhirnya berani untuk melompat dan tidak sekedar hidup. Apa yang saya alami semoga bisa jadi pembelajaran buat yang lain. Seperti yang selalu saya bilang, Beri kaki pada mimpimu, mimpi tidak harus besar tetapi jangan hanya di awang-awang. Turunkan ke bumi biarkan mimpimu berlari dan menjadi nyata dalam perjalanan kehidupan.

One Reply to “Berbagi Tugas”

  1. Keren mba artikelnya. Uhuiii,

    Saya diberi amanat oleh Mas Iwan Setiawan dan Bang Arya dari Akber Pontianak untuk membangun “rumah” Akber Pontianak. Konsep mentah (draft) nya di http://akberpontianak.blogspot.com

    Mohon masukkan dan sarannya ya.

    Asep Haryono
    Admin web blog @AkberPTK
    http://akberpontianak.blogspot.com
    Pontianak

    P.S : Saya di Pontianak Post mba. Setelah baca artikel ini saya jadi tertarik mau tau alamat email , FB, atau Twitternya Pimred JawaPos Mas Kris Moerwanto

Tinggalkan Balasan