Hari Kamis tanggal 28 Februari saya memenuhi undangan Pak Ridwan Handoyo dari Dewan Pengawas Periklanan Indonesia yang bekerjasama dengan P3I Jakarta dalam diskusi yang membahas tentang “Etika Beriklan di Social Media.”

Sebelum acara, saya sempat bertanya-tanya, apa perlu ada etikanya? Kalau memang ada etika, siapa yang diatur dalam etika tersebut? Seperti diketahui social media adalah ranah publik di mana orang bebas berinteraksi. Ada yang digunakan untuk bertegur sapa, janjian, ngobrol, promosi, jualan, melayani customer sampai dengan kampanye politik. Social media membuat semua orang bisa menjadi “media” karena secara rutin membuat konten yang dibaca oleh publik. Dan tidak hanya account personal, tetapi juga account brand, lembaga, psedonym hingga account pejabat negara. Di social media kita bisa berfungsi sebagai konsumen, produsen sekaligus medianya. Gimana cara mengaturnya? Dan apakah memang kita membutuhkan etika tersebut? Sesungguhnya social media itu demokratis dan bisa mengatur dirinya sendiri.

Diskusi mengenai Etika Beriklan di Social Media dihadiri peserta dari berbagai latar belakang pelaku industri digital, seperti agency, media, brand, konsultan marketing maupun personal yang aktif di social media. Setiap orang memberikan perspektif mengenai diskusi hari itu. Banyak hal yang dibicarakan, karena ranah social media begitu luasnya. Enda Nasution, salah satu peserta memberikan masukan untuk membatasi pembahasan etika beriklan di social media supaya lebih fokus dan jelas. Banyak hal diungkapkan dari diskusi ini, dari perlukah membuat etika, dan siapa atau apa saja yang diatur dan bagaimana mengaturnya. Setiap peserta memberikan masukan berdasarkan pengalaman dan belajar dari negara lain yang sudah menerapkannya. Yang menarik adalah setiap bagian dari industri digital memiliki pengalaman yang berbeda dalam beriklan di social media.

Penjelasan mengenai Etika dari Pak Ridwan Handoyo memberikan pemahaman kepada saya yang selama ini tidak tahu beda etika dan undang-undang. Sebenarnya etika ini tidak punya kekuatan untuk memberikan “hukuman” dan mengikat. Karena sesungguhnya etika adalah himbauan dan letaknya lebih tinggi dari Undang-Undang karena dasar pengukurannya adalah kesadaran diri sendiri. Semakin tinggi peradaban manusia seharusnya semakin beretika. Pelanggaran atas etika lebih kepada sangsi moral dan sangsi sosial, bukan hukuman fisik atau materi. Sayangnya di negara kita justru terbalik, etika dianggap lebih rendah kastanya dari Undang-Undang karena UU bisa menghukum. Etapi saat ini melanggar undang-undang pun dianggap biasa kan ya…. Celakalah kita!

Kesepakatan dari diskusi hari itu adalah, segera disusun Etika beriklan di Social Media, karena bagaimana pun social media di Indonesia saat ini seperti hutan belantara, masing-masing menerjemahkan sendiri-sendiri cara penggunaannya sesuai kepentingan. Adanya etika bisa menjadi petunjuk atau arahan. Dasar penyusunannya akan merujuk pada Etika Pariwara Indonesia, karena dalam beberapa hal ada kesamaan beriklan di media konvensional dan social media. Tetapi tetap memperhatikan “behaviour” di social media yang cukup berbeda dengan media konvensional. Untuk itu beberapa acuan akan digunakan seperti Term of Service dari masing-masing tools atau platform, WOMMA, social media guidelines dari beberapa agency multinasional yang telah menerbitkan serta referensi dari berbagai pihak yang terjun langsung di industri ini.

Seperti biasa, hasil diskusi itu kemudian saya kabarkan melalui account twitter saya. Dan seperti yang sudah diduga, akan ada pro dan kontra. Lebih tepatnya mempertanyakan. Beberapa yang sempat saya baca komentarnya adalah, jangankan etika beriklan di social media untuk etika beriklan di media konvensional saja banyak yang melanggar. Seperti kata Pak Ridwan Handoyo, Etika Pariwara memang hanya mengikat kepada anggota yang menyetujui penetapan Etika tersebut. Jika melanggar mereka akan dikirim surat teguran. Bagaimana nanti di social media, jangan-jangan tidak ada yang mengikutinya. Apakah Etika beriklan di Social Media akan menjadi sia-sia?

Saya percaya setiap manusia punya akal dan budi, dan saya percaya hidup dalam ranah sosial perlu ada etika. Menyusun etika tidaklah mudah, apalagi memenuhi harapan semua kepentingan adalah hal yang sulit. Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah etika ini disusun dengan semangat pertama : melindungi konsumen, yang kedua: menjaga agar industri tumbuh berkembang dengan sehat. Jadi etika dibangun bukan untuk membatasi pertumbuhan industri tetapi justru membangun lingkungan bisnis yang sehat. Dua hal itu yang menjadi dasar penyusunannya. Dan etika bukan sebuah harga mati, dalam pelaksanaannya jika perlu perubahan masih bisa diubah dan disesuaikan dengan dinamika industrinya. Yang penting lebih baik kita yang mengatur diri kita sendiri, karena kita yang paham industrinya, daripada pihak luar yang tidak paham kemudian membuat peraturan yang justru akan menghancurkan industri ini.

Lalu, jika etika sudah disusun siapakah yang akan melaksanakan? Dan siapakah yang bertugas mengawasi pelaksanaannya? Sekali lagi saya percaya kita semua yang ada di social media menginginkan lingkungan yang sehat dan bersama-sama ingin menjaga industri ini tumbuh besar. Tidak perlu hukuman atau ancaman untuk melakukan hal-hal yang benar. Kesadaran masing-masing lah yang justru lebih penting. Saya pribadi lebih senang jika ada guidelines yang jelas sehingga kita tidak lagi saling mengklaim salah benar sesuai kepentingan. Etika juga bisa jadi pembelajaran bagi kita semua untuk lebih bijaksana menggunakan social media.

Akhirnya, manusia yang beradab akan menjaga etikanya, tanpa perlu dipaksa.

9 Replies to “Beriklan di Social Media, Perlu Etika?”

  1. Terimakasih banyak mbak Ainun atas tulisannya yg telah membantu menyebarkan “virus etika” di tengah-tengah kondisi masyarakat kita yg saat ini yg terkesan “miskin etika”. Sedikit koreksi minor atas pernyataan ” Etika Pariwara memang hanya mengikat kepada anggota yang menyetujui penetapan Etika tersebut.”

    Etika Pariwara (Periklanan), sebenarnya adalah milik masyarakat luas. Buku pedomannya memang diterbitkan oleh Dewan Periklanan Indonesia dan diharapkan buku pedoman itu ditegakkan oleh para anggota DPI (termasuk di dalamnya P3I). Dalam konteks organisasi, memang akhirnya ada “sanksi” yg diterapkan bagi anggota yg melanggar buku pedoman Etika Pariwara Indonesia (EPI) tersebut. Tapi dlm konteks yg lebih luas, sanksi yg sebenarnya adalah sanksi sosial dari segenap lapisan masyarakat yg menilai suatu iklan sebagai tidak etis. Sanksi paling parah yg bisa diberikan masyarakat adalah masyarakat membenci produk itu dan tdk mau memakai produk itu. Dan bila sanksi sosial ini terjadi secara konsisten, dampak paling parahnya ya produk yg iklannya tidak etis itu akan mati dgn sendirinya.

    Jadi, dlm konteks tsb, kata “penegakkan” etika periklanan haruslah dilihat dr sudut bagaimana masyarakat dpt mengamini pedoman yg disusun dan memberikan reaksi (positif ataupun negatif) terhadap suatu iklan yg dilihatnya. Spt saya sampaikan dlm pertemuan tsb, buku EPI itu bukanlah “buku dewa”. Buku itu sekedar hanya kumpulan “potret” dr pendapat/pandangan masyarakat terkait dgn etika beriklan. Kalau masyarakat menilai bahwa buku itu sudah “basi” ya buku itupun harus dirubah…harus buat “potret-potret” baru. Dan iperubahan tsb seharusnya terjadi secara alamiah dan otomatis….tanpa harus direcoki dgn prosedur dan birokrasi.

    Jadi, etika beriklan adalah bagian yg sangat penting dalam “people power”. Masyarakat tdk perlu menunggu suatu badan apapun juga (entah badan swasta ataupun pemerintah) untuk “menegur” atau “memberikan sanksi”. Mereka bisa bertindak sendiri!

    Buku pedoman etika beriklan perlu disusun agar membantu masyarakat (termasuk parap pelaku industrinya) mempelajari dan memahami dgn lebih baik bagaimana beriklan dgn etis. Dgn dijadikan buku, maka bisa jadi materi ajar juga bagi generasi muda dan pelajar2 yg nantinya akan berkiprah di dunia periklanan. Sama seperti tulisan2 sastra kuno yg berisi ajaran2 moral yg ditulis para sastrawan agar tulisannya dapat menjadi dokumentasi dan “materi pengajaran” bagi generasi2 berikutnya. Dari sudut ini, saya pribadi tetap berpendapat bahwa selengkap apapun juga buku pedoman etika itu, tidak akan pernah bisa “memotret” dgn lengkap seluruh paradigma moral yg ada di suatu komunitas/masyarakat. Etika yg lengkap dan utuh hanya ada di hati-nurani para anggota masyarakat itu sendiri.

    Memang tidak mudah merubah paradigma masyarakat Indonesia yg sudah sangat terbiasa dgn konsep “hukum (positif) adalah segalanya”, apalagi ditambah dgn kondisi dimana hukum positifpun di Indonesia sering terkesan “dicuekin”. Semoga tulisan ini dan gerakan ini dapat terus menumbuhkan kepercayaan masyarakat bahwa seharusnya yg kita tuju: “etika adalah segalanya”!

    Salam pariwara yang beretika!

  2. Perdebatan mengenai etika bermedia memang cukup pelik ya Mbak. Terlebih, kalau sudah dicampur adukan dengan “ini request client” atau “pasar sukanya gitu kok”, dan argumen lainnya yang terkadang dibalut dengan emosi.

    Thanks mbak atas sharingnya!

    1. iya betul…. tidak mudah mewadahi semua kepentingan. Tetapi jika dasarnya adl untuk melindungi konsumen, aku pikir itu penting. Soal implementasi sekali lagi ini soal etika bukan UU jadi tidak ada punishment tetapi kesadaran :)

    1. beriklan di social media kan bukan twitter, ada fb ads, youtube, dll. Sebagai bisnis sudah seharusnya kan ada etika. :)

  3. seandainya setiap twit buzzing dikasih tagar #Ad gitu misalnya, demi menegakkan etika, maka dari sisi pemasang iklan sudah tidak akan ada lagi yg namanya ‘soft selling’. Dari sisi buzzer juga sekreatif apapun dia ngetwit/buzzing, jadinya nggak pengaruh krn toh dipasangi tagar #ad.

    is that what the industry want?

Tinggalkan Balasan