Dalam sebuah obrolan di warung jamu sore itu kami membahas tentang komunitas dan acara kopdar. Seorang teman bercerita bagaimana dia sangat shock ketika melakukan kegiatan kumpul-kumpul dengan komunitas di luar Jakarta, langsung dapat pertanyaan, “Oke, kalau kami hadir kami dapat apa?” Padahal kalau bikin acara di Jakarta, yang notabene katanya individualis dan materialis dia tidak pernah mendapat pertanyaan begitu. Bahkan orang-orang yang cukup ternama dan punya posisi mau hadir tanpa pertanyaan “saya dapat apa.”
Entah kenapa, saya merasa ada yang ganjel. Apa betul orang-orang di luar Jakarta sedemikian matre nya sehingga semua minta perhitungan diawal? Ganjelan ini kemudian saya endapkan, dan pelan-pelan saya cerna untuk menghasilkan teori yang murni abal-abal. Jangan langsung percaya sebelum cek toko sebelah!
Sebuah karir atau bisnis memerlukan networking yang luas, masyarakat kota besar terutama Jakarta sangat menyadari itu. Untuk membangun networking di Jakarta dibutuhkan effort yang lebih besar daripada kota lainnya. Karena sebagai propinsi terpadat, tersibuk dan termacet untuk bertemu orang makin susah. Belum lagi soal tingkat kepercayaan yang tidak begitu besar. Maka hadir di acara gathering atau komunitas menjadi cara yang diminati untuk membangun networking.
Lain halnya kalau kita tinggal di Jogja atau Salatiga. Untuk bertemu dan berkenalan dengan orang jauh lebih mudah. Jalanan yang tidak macet, penduduknya masih guyub dan biasa berkumpul di berbagai tempat tanpa perlu alasan yang jelas. Yaa sekedar nongkrong dan ngumpul aja. Berteman jadi lebih mudah karena masih besar tingkat kepercayaan satu dengan yang lain.
Atas nama networking, undangan gathering terutama jika penyelenggara atau tamu yang hadir adalah potensial maka dengan senang hati akan datang tanpa mendapatkan apa-apa. Karena mereka butuh. Beda dengan di kota lain. Networking bukan hal yang susah, dan mungkin juga bukan hal yang utama untuk dikejar. Bisa karena memang mudah bertemu orang potensial atau kesadaran pentingnya ber-networking belum besar. Bisnis atau karir dijalankan dengan tidak ngoyo. Persaingan tidak sekeras Jakarta.
Jadi orang Jakarta mau datang ke acara mungkin demi networking bukan acaranya makanya gak pernah terucap, “saya dapat apa?”. Dengan datang ke acara, siapa tau ketemu seseorang yang membuka jalan proyek, atau demi merawat hubungan baik sehingga ada repeat order. Secapek-capeknya tetap akan diusahakan jika itu klien atau potensial klien. Ada lagi sih satu tambahan, jika yang mengundang teman. Gak enak kalau gak datang. Dalam obrolan di acara seringkali terselip kata “opportunity“.
Sekarang tentang orang-orang di kota lain, yang secara terbuka tanpa tedeng aling-aling menanyakan, “saya dapat apa?” Mungkin ini justru sebuah kejujuran dan keterusterangan. Bukankah keterusterangan mereka lebih memudahkan kita bekerjasama? Toh pengundang adalah sebuah bisnis, yang menghasilkan profit. Masak gak boleh nanya, saya dapat apa? Dengan datang ke acara, mereka keluar transpor, waktu dan belum tentu bermanfaat. Mereka gak mikir soal networking. Perusahaan pengundang pun dapat benefit atas kehadiran mereka.
Ini sekedar teori “mungkin” dari saya akibat komitmen setiap hari harus buat satu postingan blog.
Saya tidak ngomong soal salah benar, hanya mencoba mengalisis perilaku manusia. Ingat bahwa tidak ada satu pun teori manusia yang benar mutlak atau salah mutlak. Karena manusia sangat kompleks dan tidak ada ilmu pastinya.
Soal siapakah yang lebih tulus dan jujur bukan lagi persoalan, sepanjang kedua belah pihak merasa diuntungkan. “Saya dapat apa” itu definisinya banyak. Ada yang merasa dapat networking itu sangat penting tapi ada yang merasa dapat gimmick yang pasti itu lebih penting. Hal yang perlu disadari, pergaulan jaman sekarang memang penuh perhitungan, karena hidup makin berat, Jendral!
Selamat hari Jumat teman-teman, jangan terlalu serius nanti pingsan. Enjoy your weekend!