Beberapa hari lalu, aku diinterview salah satu media terkait kasus yang sedang menimpa Bintang Emon. Komika atau artis stand up comedy yang lagi naik daun di kala pandemi dengan video ngomel-ngomelnya yang lucu dan kena banget!
Bagi yang belum tahu, Bintang Emon waktu itu membuat video monolog mengkritik berita tentang tuntutan tersangka kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan, penyidik KPK, yang sangat ringan yaitu satu tahun. Seperti biasa, Bintang Emon selalu bisa menyampaikan kritik dengan lucu dan tepat sasaran sehingga respon netizen pun ramai dan mejadi viral.
Tak lama dari kehebohan tersebut, disusulah kehebohan berikut yaitu ada postingan yang jumlahnya banyak dan serentak mengunggah foto Bintang Emon dengan gambar sebagai pemakai narkoba. Lagi-lagi trending topic. Kaributan pun berlanjut. Bintang Emon menuliskan bahwa dirinya, manajer serta kakaknya mengalami teror dan ancaman.
Banyak teman-teman yang kemudian tergerak untuk mendukung Bintang Emon yang mengalami serangan virtual secara bertubi-tubi. Bukan hanya dari warga biasa tetapi juga para pejabat dan selebritis termasuk Novel Baswedan, seperti yang dikabarkan kumparan di sini
Buzzer dan BuzzeRp
Aku tidak akan membahas kasusnya, tetapi salah satu yang kemudian juga rame adalah buzzer dan buzzeRp. Tuduhannya bahwa serangan ini digerakan oleh mereka yang gerah atas kritikan Bintang Emon (kemudian beberapa menyebut itu instansi pemerintahan dan penegak hukum yang mengerahkan). Padahal kalau kita melihat sifat media sosial yang terbuka, siapa pun bisa jadi apa pun dan menyuarakan apa pun. Kemungkinan siapa penggeraknya pun bisa banyak pihak.
Sesungguhnya apa sih itu buzzer? Awal mula muncul istilah buzzer adalah ketika lahirnya media sosial. Buzzer itu dari kata buzz, atau dengung. Jadi buzzer itu pendengung. Siapakah yang disebut pendengung? Semua akun media sosial (terutama twitter sebagai platform penyebar informasi paling cepat dan masif) adalah buzzer. Hal ini tidak terkait dengan jumlah follower. Ketika ada satu isu yang dibicarakan secara serentak dan banyak akun, maka buzz itu terjadi.
Jika diamati dari kasus Bintang Emon, yang melakukan penyerangan bukan hanya akun personal tetapi juga akun bot (atau robot), yaitu akun yang dibuat dalam jumlah banyak dan digerakkan oleh mesin dengan menggunakan konten dan hastag yang sama. Jadi buzzer bisa organik (akun personal) bisa juga akun bot.
Apakah buzzer selalu dibayar sehingga ada istilah BuzzeRp? Belum tentu. Kembali ke istilah awal, dengungan itu bisa settingan dengan bayaran, bisa juga bergerak secara organik karena ada isu khusus yang menarik minat banyak orang atau akun.
Semenjak pemilu dan pilkada serentak, pemanfaatan buzzer ini makin marak. Mereka digunakan dalam pertarungan politik secara cukup brutal. Banyak buzzer bayaran yang digunakan, Masyarakat timeline atau netizen pun jadi gerah, sehingga konotasi buzzer pun menjadi negatif dan selalu bayaran.
Kebiasaan kita yang seringkali mengeneralisir, akhirnya semua postingan yang viral (baik brand maupun isu tertentu) sering disebut buzzer bayaran. Postingan endors pun disebut buzzer. Bahkan ketika ada akun memposting produk tertentu karena puas dengan produknya, langsung dituduh buzzer (berbayar). Sampai-sampai ada yang perlu menuliskan : review jujur bukan buzzer. Padahal bayaran pun tidak mengapa, asal dilakukan dengan cara yang tepat. Soal ini akan dibahas ditulisan lain.
Bullying dan Pengeroyokan Online
Hukum algoritma media sosial adalah jika sebuah keyword (kata atau hastag) diposting secara serentak oleh banyak akun maka akan menjadi trending topic. Kemudian banyak yang menggunakan hal tersebut untuk menaikan isu tertentu supaya mendapat perhatian. Termasuk ketika menyerang seseorang di timeline atau (cyber) bullying mereka pun menggunakan rumusan yang sama supaya trending dan makin banyak yang ikut menyerang.
Sebenarnya aku kurang setuju dengan penyebutan bullying, karena bully itu jika salah satu pihak lemah tak berdaya. Aku lebih setuju penyebutnya pengeroyokan online. Karena seringkali memang dilakukan dengan cara keroyokan kepada lawan baik perorangan atau lembaga/perusahaan. Jadi kurang tepat jika disebut bully karena tidak selalu pihak yang diserang adalah lemah tak berdaya.
Bintang Emon kemaren dikeroyok oleh banyak akun sehingga trending topic. Biasanya dilanjutkan dengan desakan untuk tutup akun atau ancaman. Nah, layaknya sebuah trending topic, selalu banyak penumpang gelap yang ikut serta. Baik untuk kepentingan pribadi, maupun urusan bisnis. Maka makin ramelah timeline dan semua membicarakannya. Harapannya para penumpag gelap bisa ikut terseret dalam arus percakapan untuk menaikan awareness dan engagement.
Pola pengeroyokan online ini semakin marak dan sepertinya menjadi rumusan netizen jika suatu postingan tidak disukai atau berbeda pandangan. Termasuk para penumpang gelapnya yang ikut meramaikan. Hal ini menjadi preseden buruk, bukan hanya dalam urusan ber-media sosial tetapi juga soal kebebasan berpendapat, toleransi dan bahkan bisa mengancam sebuah bisnis tertentu.
Semua pengguna media sosial termasuk aku, harus lebih bijaksana dalam memanfaatkannya. Jangan mudah ikut keriuhan timeline. Jangan sampai karena satu cuitan, hancur hidup atau bisnis orang. Mari berhati-hati dengan jempol kita, karena jarak jempol memang lebih dekat ke keyboard daripada ke otak.