*ini bukan tulisan saya, tetapi tulisan Fajar Nugros alias Fajar Nugros @captainugros Sang Sutradara Muda* Terimakasih Gros, sudah membuatkan tulisan indah untukku :’)
Awan gelap mulai bergulung-gulung. Seolah memenuhi panggilan untuk berkumpul. Selamat datang semua. Kalian sudah mengumpulkan semua butir hujan? Awan-awan mengangguk lelah. Semua membawa buntelan besar berisi uap air. Baiklah. Pada hitungan ketiga, setiap awan boleh mulai menumpahkan isi buntelan. Satu petir, tuangkan satu buntelan, begitu seterusnya pada tiap petir..
Satu.. Dua.. Tiga.. DHUAR!
Seorang ibu menoleh ke langit. Wajahnya semakin panik. Ini bukan soal pakaian kering yang memenuhi tali jemuran di halaman belakang rumah. Bukan juga soal nasi kering yang dijemur diatas nampan bambu di genteng rumah. Tapi lebih dari itu. Ini soal, kembali ke rumah tepat waktu!
Air hujan mulai berjatuhan. Dua tiga butir menimpa wajah si ibu. Kini ia menoleh ke sana kemari, dan melintaslah sebuah bajaj tua dengan asap pekat menghembus dibagian pantatnya.
“Jaj!” sang ibu melambaikan tangannya. Bajaj itu berputar cepat meninggalkan sumpah serapah supir mobil mewah yang terkejut akibat manuver mendadaknya. “Buajingan!” kata si supir begitu berhasil menguasai mobilnya sendiri yang setirnya sempat ia banting ke kanan kuat-kuat. “Marno, tolong nyupirnya yang enak ya. Atau nanti kamu saya pecat.” kata bos si supir mobil merah yang duduk di kursi belakang, Marno supir kembali memaki si supir bajaj dalam hati. Ia kemudian melirik ke spion tengah. Bosnya, pejabat parpol itu tak biasanya berkata sehalus tadi pada dirinya. Biasanya ‘Marno goblok!’ atau ‘Marno tolol!’ dan bukan, ‘Marnoo.. tolong…’ seperti tadi. Kenapa ya? Marno melirik lebih dalam ke kaca spionnya, oh, ia lupa, ada sosok perempuan duduk di samping bosnya. Jadi si bos menjaga sikapnya, tentu saja. Tapi walau memakai kata ‘tolong’ si bos tetap mengancam Marno, kenapa?
Oke, kita mundur sedikit. Bosnya Marno ini anggota dewan, ia tengah berada di jok belakang mobilnya, bersama seorang bintang film yang film hantunya baru saja rilis dan meledak.
“Selamat ya sayang, filmmu sudah rilis di bioskop.” kata bosnya Marno. Si bintang film tersenyum tipis. Walau pun tipis, tetap membuat bibir Marno menebal, karena segumpal nafsu berkumpul diujung bibirnya, ingin segera melumat leher si bintang film. Dan selanjutnya adalah rentetan dialog klasik…
“Bapak kapan nonton?” tanya si bintang film.
“Jangan panggil bapak dong, manis.” balas bosnya Marno.
“Terus?” tanya si bintang film.
“Panggil mas saja ya?” jawab bosnya Marno. Dan si bintang film tersenyum tipis lagi. Bosnya Marno semakin bergolak, ia menyorongkan bibirnya ke samping, ke arah leher si bintang film, begitu jaraknya semakin dekat, tiba-tiba…
DHUARR!!!
Marno melompat dari kursi dibelakang kemudinya. Kaki kanannya menginjak dengan kuat, hingga menekan pedal gas. Mobil melompat sedikit. Bosnya Marno tampak emosi, ia melihat ke Marno yang berusaha mengendalikan diri dari keterkejutan akan petir tadi. “Maafkan supir mas ya sayang,” kata bosnya Marno. “Sampai mana kita tadi?” si bintang film tersenyum tipis lagi. Bosnya Marno kembali mengambil ancang-ancang..
DHUARRR!
Petir menyambar lagi.
Bajaj berhenti di depan si ibu. “Antarkan saya pulang kang!” Si kang bajaj buru-buru membuka pintu penumpang bajajnya, si ibu melompat naik.
Bajaj hendak melaju lagi. Hujan telah turun dengan bertubi-tubi. Si kang bajaj menatap ke depan. “Yasalaaam…” katanya. “Kenapa kang” tanya si ibu. Si kang bajaj tak menjawab dengan mulutnya, tapi dengan menyodorkan telunjuknya ke depan. Si ibu menatap ke arah yang ditunjuk. Kemacetan luar biasa..
“Percumah aku numpak bajaj nek isih keno macet kang!” kata si ibu. “Tak tambahi sepuluh ewu!” imingnya. Si kang bajaj tak merenung lama. Ketika petir keempat berbunyi…
DHUARRRR!
Dan hujan semakin turun dengan derasnya, kang bajaj mengambil ancang-ancang, memainkan gas bajajnya, memasukkan gigi dan matanya mulai mencari celah.
“JANGAN ADA CELAH!” perintah dari langit. Awan-awan pun mengambil buntelan-buntelan yang dibawa mereka, membuka ikatannya, lalu mengambil ancang-ancang. Begitu terdengar suara petir…
DHUARRRRR!
Berjuta-juta butir air kembali berjatuhan ke bumi.
Kang bajaj melaju dengan serius, demi… sepuluh ribu plus bonus sepuluh ribu, total dua puluh ribu. Ditambah hasil narik sepanjang pagi jadi sekitar empat puluh tujuh ribu. Sepertinya uang segitu cukup untuk membeli dua liter beras, ikan asin, beberapa butir cabai dan dua sachet kecap. Sisanya adalah setoran.
“Kita nggak bisa berteduh dulu ya buk?” tanya si Kang Bajaj. Si ibuk yang duduk dibelakangnya tak mendengar, suara kang bajaj kalah dengan suara knalpot bajajnya sendiri.
“Hujannya semakin deras dan macet!” teriak kang Bajaj.
“Apa kang?!” teriak si ibu dari kursi belakang.
“HUJANNYA DERAS!” balas kang Bajaj nggak kalah kenceng.
“Oh, kirain ada apa..” jawab si ibu pelan, “UDAH TAHU!” sahut si ibu seraya menundukkan kepala, wajahnya cemas. Tangannya menggenggam blackberry, dan perlahan, ditengah kepanikan hujan, ia mulai mengetik sebuah twit..
DHUARRRRRR!
“Satu… Dua.. Tiga! Tumpahkan!”
Dan awan-awan yang berbaris dengan memanggul buntalan-buntalan, menumpahkan air ke bumi. “Ayo jangan berhenti! Satu… Dua…”
“HENTIKAN!” terdengar sebuah suara yang lebih lantang. Langit bergemuruh itu tiba-tiba tak lagi menumpahkan air. Awan-awan berhenti kaku pada posisinya.
“Siapa yang merusak ritme itu?!” teriak langit.
“Hentikan! Tolong hentikan!” terdengar suara itu lagi, kali ini lebih kecil. Sebuah awan mungil berwarna putih berlarian di sela awan-awan yang kelelahan memanggul buntalan air.
“Ada apa awan kecil?” tanya langit.
“Maaf, tolong hentikan sebentar..” pinta si awan kecil terengah.
“Ada apa?” tanya langit lagi.
“Bacalah ini…” pinta si awan kecil seraya menyodorkan gadgetnya. “Ini namanya twitter. Bacalah twit ini…” tunjuk si awan kecil. Langit menyorongkan wajahnya mendekat ke tangan si awan kecil yang menyorongkan gadgetnya.
Reply Retweet Favorite · Open
Waduh hujan deras petir menyambar dan saya di atas bajaj itu menakutkan, Jendral! :(
HUJAN BERHENTI. SEKETIKA!
Bajaj berhenti tak jauh dari rumah si ibu.
“Ini ongkosnya kang, kembaliannya ambil aja!” teriak si ibu yang segera melompat turun dari bajaj. Matahari tiba-tiba muncul lagi dan menerangi langkah si ibu berlari ke rumahnya.
“Anakku!” teriak si ibu seraya memeluk anaknya yang berbaring di kasur dengan kompres menempel di dahi. “Kau tak apa-apa?” tanya si ibu, si anak menggeleng seraya tersenyum. Wajah si ibu tampak lega, ia memandang ke langit-langit rumahnya, mengucap alhamdulillah…
Langit mengusap rambut si awan kecil. “Terimakasih sudah kau ingatkan,” kata Langit, “Hampir saja kita membuat seorang ibu kesusahan untuk bertemu dengan anaknya yang sedang sakit.”
Si Awan kecil girang. Ia berlarian ke sana-kemari…
***
:D
Dan hujan pun berhenti…
Kerennnn…
*mewek* Mas Nugros canggih, ya Mbak!
Seperti biasa, cerpen Fajar Nugros pasti keren dan ajib kayak gini. Salut :))
Kasian si bos parpol tambah ndomble…..:))
…….. #speechless #sambilmewek :’)