“Aku jatuh hati pada seseorang,” ungkap Dewa di pagi yang cerah saat sarapan bersama Kinanti sang istri. Seperti bola api yang menyambar dan langsung menghanguskan hati Kinanti istrinya. Dengan muka merah padam, Kinanti setengah berteriak, “Kog bisa? Sama siapa? Apa salahku?”
“Ini bukan salahmu, ini masalah hatiku yang tiba-tiba tertambat dengan seseorang.” Dewa berujar pelan. Keheningan penuh kekakuan menyelimuti suasana ruang tengah tempat mereka menghabiskan sarapan. Kinanti langsung kehilangan selera makan, dan menunggu seakan badai berikutnya akan datang. Dewa tetap terdiam, tidak melanjutkan pembicaraannya.
Kinanti dan Dewa, pasangan serasi sejak SMA dan menjadi idola semua siswa. Yang lelaki ganteng, dan cukup keren di masanya. Kepiawaiannya bermain alat musik dan menyanyi menjadikannya idola cewek-cewek di sekolahnya. Sedang yang perempuan adalah gadis cantik kembang sekolah. Setiap melintas, cowok-cowok bersiul-siul memanggil nama Kinanti, berharap dia menoleh dan melemparkan senyuman yang membuat cowok berhenti detak jantungnya. Kinanti dan Dewa ibarat pasangan yang sudah dijodohkan Tuhan semenjak dari kandungan. Serasi dan sempurna. Tidak ada seorang pun yang berani mengganggu hubungan mereka. Di mana ada Dewa di situ ada Kinanti. Hingga kuliah, mereka ada di kampus yang sama walau berbeda jurusan. Predikat yang disandang sebagai pasangan yang serasi tetap melekat. Semua berjalan lancar, mulus tidak ada halangan. Ketika akhirnya mereka menyelesaikan pendidikan dan kemudian mendapatkan pekerjaan, pasangan ini pun naik ke pelaminan. Pesta yang cukup meriah seakan mengukuhkan mereka sebagai pasangan serasi yang abadi. Kalau orang bertanya jodoh itu apa, Dewa dan Kinanti adalah perwujudan jodoh yang sesungguhnya.
Perkawinan mereka bukan tanpa riak, selalu ada perselisihan dan percekcokan kecil mewarnai hari-hari, tetapi tidak ada yang kemudian menjadi masalah yang besar. Satu-satunya masalah besar adalah belum dikaruniai keturunan hingga perkawinan yang sudah menginjak usia lima tahun. Mereka masih enjoy saja menjalani, tidak tertekan dengan pertanyaan kiri kanan, karena mereka berdua percaya anak adalah sepenuhnya hak prerogatif Tuhan.
Apa yang dikatakan Dewa, pagi itu di meja makan, seperti membuyarkan tentang biduk rumah tangga yang tenang. Seakan semuanya yang tampak baik-baik saja, mendadak seperti kapal yang nyaris oleng kehilangan kendali. Kinanti masih diam menunggu penjelasan lanjutan dari Dewa, tetapi hanya kebisuan yang ada di antara mereka. Hari minggu, saatnya istirahat menghabiskan waktu dengan orang-orang tercinta malah menjadi bencana. Menjelang siang, Kinanti sudah tidak tahan lagi. Dihampirinya Dewa yang duduk di halaman belakang rumah mereka yang mungil dan asri, sedang termenung memegang majalah yang entah dibaca atau tidak.
“Siapa perempuan itu? Kenapa kamu jatuh hati padanya? Apakah ada yang salah dengan diriku, atau ada yang kurang? Kalau ada masalah kita bicarakan, bukan dengan membuat masalah baru menjalin hubungan dengan perempuan lain,” Kinanti berbicara dengan suara tertahan menahan geram.” Dewa berpaling dan menatap tajam, “aku bilang ini bukan salahmu, dan bukan karena ada masalah. Jangan pojokan aku terus! Siapa bilang aku telah menjalin hubungan?” teriak Dewa kesal sambil membanting majalah dan berlalu.
Kinanti semakin kesal, dan dikejarnya sang suami karena dia merasa tidak mendapatkan penjelasan apa-apa. Rumah yang tadinya tenang dan tentram mendadak jadi panas dan siap meluluhlantakkan seluruh penghuninya. Masing-masing sudah menyalakan sumbu, jika digosok sedikit akan meledak dan buyar. Sambil menarik lengan suami, Kinanti berteriak, “ lantas apa? kenapa kamu jatuh hati sama perempuan itu? Kalau memang kita baik-baik saja, kenapa ada perempuan lain di hatimu? Aku terluka Dewa, kamu menyakitiku.” Dan airmata Kinanti jatuh tak terbendung lagi. Kinanti tak kuasa lagi melanjutkan pembicaraan, dia memilih berlari ke kamar dan menumpahkan segala gundah, resah, dan kecemasannya dengan menangis di atas kasur sambil menyusupkan kepalanya di dalam bantal. Rasanya dunia Kinanti sebentar lagi akan runtuh dan tidak tahu lagi harus bagaimana.
Cukup lama Kinanti membiarkan airmatanya mengalir tanpa mencoba untuk dihentikan. Pikirannya sibuk melayang-layang membayangkan apa yang akan terjadi dengan biduk perkawinannya. Pacaran hampir 8 tahun, mengarungi rumah tangga selama 5 tahun memberi keyakinan Kinanti, bahwa dia cukup mengenal Dewa luar dalam, apa yang jadi kesukaannya, apa yang dibencinya, kebiasaan buruknya dan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Pengakuan Dewa seakan memporak-porandakan keyakinan itu. Jangan-jangan selama ini dia tidak pernah mengenal Dewa? Pria yang selama 5 tahun tidur bersamanya, mendadak jadi orang asing dan menyebalkan. Sepertinya ada yang salah, tetapi entahlah. Kinanti kelelahan memikirkan semua itu, hingga akhirnya tertidur dengan hati yang kalut.
Dewa masih termenung di meja makan, sudah saatnya makan siang tetapi Kinanti tidak ada tanda-tanda akan keluar untuk makan siang bersama. “Ah, semua ini salahku,” desah Dewa. Sejuta rasa sesal menggelayuti hatinya. Harapannya sia-sia, bahwa dengan membuat pengakuan kepada Kinanti, maka dia akan dibantu keluar dari jeratan rasa yang telah sebulan ini melilit hati dan meresahkan isi kepalanya. Dewa bukan ingin selingkuh, dia hanya ingin jujur tentang sebuah rasa yang ada dengan orang yang paling dikasihinya. Tetapi reaksi Kinanti yang meledak sungguh tidak terduga, dan semua menjadi berantakan. Dewa kembali mengingat kenangannya dengan Kinanti dari semenjak SMA hingga kemudian menjadi istrinya. rasanya, dia paham betul seperti apa istrinya, seorang perempuan lembut, penyabar dan ceria bisa diajak berdiskusi dan mempunyai pikiran yang terbuka. Mendadak semua itu sirna, dan Dewa menjadi gamang, apakah betul dia sudah cukup mengenal Kinanti?
Hari ini bukan bulan Desember, tetapi bulan Juni yang seharusnya adalah musim panas. Tetapi cuaca akhir-akhir ini semakin tidak menentu, semua keluar dari kebiasaan. Begitu juga Kinanti dan Dewa. Mendadak suara gemuruh di langit, dan hujan turun tiba-tiba. Kinanti tersentak kaget, terbangun oleh suara gemuruh hujan yang demikian kerasnya. Tanpa sadar dia lari keluar memanggil Dewa, Kinanti ketakutan. Dewa yang masih duduk di meja makan pun terperanjat dan berlari menghampiri. “Ada apa?” tanya Dewa. “Aku takut”, bisik Kinanti. Dewa pun memeluk erat tubuh Kinanti dan mendekap kepala Kinanti ke dadanya. Sejenak mereka lupa atas bara yang tercipta. Ketika perlahan-lahan kesadaran Kinanti mulai pulih, dia pun menarik diri dari pelukan Dewa dan menatap penuh luka.
“Tidak kah kamu bisa sedikit menurunkan kemarahanmu? Aku belum selesai bicara tadi pagi. Maukah kamu mendengarkan penjelasanku secara utuh? Kalau kamu teriak dan marah-marah aku tidak bisa meneruskan pembicaraan ini. Aku justru butuh bantuanmu,” Dewa berujar lirih sambil menatap sedih sang istri. Lima tahun akan menjadi sia-sia jika Dewa tidak segera bertindak menyelamatkannya.
Kinanti dengan mata sembab dan rambut yang awut-awutan, perlahan menggeser badannya mendekati meja makan. Sambil menggeret kursi dengan ogah-ogahan dia berujar,”oke, aku akan mendengarkan.” Dan Kinanti pun duduk. Diperlakukan begitu, Dewa sejenak salah tingkah dan bingung harus bagaimana. Sempat terjadi keheningan sesaat, yang terdengar hanya suara hujan yang semakin deras. Perlahan Dewa berjalan menuju meja makan dan mengambil tempat duduk tepat di depan Kinanti. Ditatapnya wajah sang istri yang sembab dan tergurat luka menganga. “Ini semua salahku,” Dewa kembali mengucapkannya dengan pelan.
“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud melukaimu. Kamu pasti terluka sekali atas perkataanku tadi pagi. Mungkin aku masih belum mengenalmu sepenuhnya. Aku terlalu menyepelekan perasaanmu. Aku tidak menduga akan sejauh ini akibatnya.” Kinanti nyaris membuka mulut untuk menjawab, tetapi kemudian dia mengunci mulutnya rapat-rapat agar tetap diam mendengarkan semua penjelasan Dewa secara utuh. Kalau menuruti emosi, pasti bakal terjadi pertengkaran yang mehancurkan hati mereka berdua, dan Kinanti menyadari itu semua. Dia harus berjuang agar biduk rumah tangganya tidak karam, maka satu-satunya pilihan adalah tetap diam dan mendengarkan suaminya bercerita semuanya.
“Aku memang jatuh hati dengan seorang perempuan, dan aku cukup terganggu dengan rasa itu. Cukup lama aku mempertimbangkan, apakah perlu aku berterus terang padamu atau tidak. Tetapi lama-kelamaan aku tersiksa dengan rasa itu. Aku tidak pernah menuruti rasa itu. Hingga detik ini aku tidak pernah sekali pun berkencan dengannya. Aku hanya mengagumi dari jauh, tidak berani mendekatinya. Karena sejengkal saja aku melangkah maju, runtuhlah rumah tangga yang telah kita bangun. Untuk itu, pagi ini aku beranikan diri membuat pengakuan di depanmu. Aku tidak berselingkuh, dan aku tidak ingin mengkhianati perkawinan kita. Makanya aku perlu bantuanmu untuk keluar dari ini semua,” suara Dewa semakin pelan dan lebih terdengar sebagai sebuah rintihan.
Di antara gemuruh hujan, suara Dewa seakan menggenapi kegundahan hati Kinanti. Antara marah dan sedih bercampur aduk tidak menentu. Sebagai seorang perempuan, hatinya sungguh terluka dengan pengakuan suaminya. Tetapi jika memikirkan lebih dalam, dia mengakui Dewa memang tidak berniat mengkhianatinya, justru keberaniannya untuk bicara jujur dengan segala resiko reaksi sang istri menunjukkan kesungguhannya ingin keluar dari segala kerumitan hati.
Kejujuran seringkali menghadirkan dilema, tidak semua sanggup menerima. Tetapi kadangkala kejujuran justru memudahkan sebuah persoalan bisa diselesaikan. Dibutuhkan hati yang lapang dan jernih untuk menangkapnya. Apalagi kejujuran pasangan kita tentang hatinya yang tercuri. Duh, mana sanggup menerimanya? Kalau boleh memilih, terkadang para perempuan lebih memilih untuk tidak pernah mendengar karena itu akan menjadi duri dalam hubungan selamanya. Seringkali kita dengar, perempuan lebih suka dibohongi. Mungkin ada benarnya, karena kejujuran pasangan terkadang memberi beban tambahan dalam hubungan. Ketika perempuan lebih memilih dibohongi pasangannya, sesungguhnya ada yang lebih besar yang ingin diselamatkan: sebuah ikatan sakral perkawinan.
Perlahan hujan mulai reda, terdengar suara tetes-tetes hujan jatuh di atas jalan setapak di halaman rumah seperti bunyi detak jantung. Resah. Dalam diam yang cukup panjang, Dewa semakin tersiksa. Ingin rasanya dia menarik seluruh kata-katanya tadi pagi dan menganggap tidak ada. Dia tak kuasa menatap wajah sang istri yang terluka begitu dalam. Sungguh egois, hanya karena tidak sanggup keluar dari persoalan hatinya sendiri, dia menyeret Kinanti ke dalamnya. Tetapi semua sudah terjadi, apa yang terucap tidak pernah bisa ditarik lagi. Kata-kata adalah sembilu, dan hari ini Dewa sudah membuktikannya.
Perlahan Kinanti bangkit dari duduknya, dan berjalan menuju kamar mandi. Cukup lama di dalam, dan kemudian keluar dengan muka yang lumayan segar. “Dewa, kamu mandi gih, terus kita makan bareng.” Dewa agak kaget kemudian menurut saja dengan apa yang diminta istrinya. Keluar dari kamar mandi, Dewa melihat Kinanti sudah selesai menata makanan di meja dan mengajaknya makan bareng. Mereka makan bersama masih dalam suasana hening. Tidak ada yang berbicara, masing-masing sibuk dengan pikirannya dan mengunyah makanan tanpa selera. Hanya demi menjaga agar badan tetap sehat ketika hati sedang kacau balau.
Perlahan, senja berganti malam, suasana semakin temaram. Kinanti mengingatkan Dewa untuk menutup jendela dan pintu sambil berjalan menuju kamar. tak berapa lama Dewa pun menyusul. Dia melihat Kinanti rebahan di kasur tetapi tidak tidur. Tatapan Kinanti mengajak Dewa untuk berbaring di sisinya. Lagi-lagi Dewa menurut, dan perlahan naik ke tempat tidur.
Lampu yang menyala hanya lampu tidur yang tidak seberapa terang, menambah suasana semakin sendu. Dewa dengan agak canggung mencoba berbaring di samping sang istri. Rasanya kasur menjadi tempat yang aneh. Ingin rasanya, Dewa meraih tangan Kinanti, memeluknya seperti yang biasa mereka lakukan di malam hari. Dewa ingin mengenyahkan rasa asing di kamarnya sendiri. Mereka seperti dua orang asing yang terjebak dalam satu ruangan tanpa tahu harus melakukan apa.
Tiba-tiba keheningan malam pecah oleh suara Kinanti, “Dewa, apapun yang terjadi kamu suamiku. Pasangan hidupku yang telah berjanji di hadapan Tuhan untuk selalu bersama bagaimana pun keadaannya”, perlahan Kinanti mulai bicara. Dewa hanya terdiam mendengarkan, sesekali terdengar helaan nafas panjangnya. “Terimakasih kamu mau jujur denganku tentang perasaanmu, aku hargai itu tidak mudah bagimu. Walaupun pengakuanmu juga bukan hal yang mudah untuk aku terima. Hatiku sempat hancur berantakan, dan membayangkan biduk rumah tangga kita akan karam. Bertahun-tahun kita menjalin hubungan seakan menjadi sia-sia dengan pengakuanmu. “
Sambil menghela nafas dengan berat, Kinanti melanjutkan berbicara, “Pada akhirnya aku sadari, bahwa siapa pun bisa jatuh cinta, karena rasa terkadang terlalu liar untuk dikendalikan. tetapi komitmen yang akan menjaga langkah kita, mengikat kita pada rambu-rambu yang telah kita sepakati bersama. Kita bisa jatuh cinta dengan siapa saja. dan seringkali cinta jatuh di tempat yang salah atau waktu yang salah. Tetapi kita sama-sama tahu, hati yang jatuh di tempat salah tidak untuk ditindaklanjuti. Aku tahu itu bukan sesuatu yang mudah, tetapi harusnya kita yakin bisa mengatasinya dan semoga menjadi pembelajaran untuk selanjutnya”
“Maafkan aku sudah berteriak dan marah kepadamu. Hanya satu yang aku minta, jagalah komitmen yang telah kita bangun, karena hanya komitmen itu yang bisa mengendalikan langkah kita. Sekarang kamu yang sedang mengalaminya, mungkin nanti bisa saja aku. Kalau itu terjadi, bantu aku keluar dari jeratan itu, Dewa.” Kinanti menatap suaminya lama, dan perlahan rasa kasih itu mengalir hingga ke ujung jari-jarinya. Dengan penuh rasa sayang, diusapnya pipi Dewa, “aku sayang kamu, Dewa. Semua begitu mudah untuk hubungan kita, dari semenjak SMA hingga menikah semua baik-baik saja. Mungkin memang perlu goncangan untuk menguji seberapa kuat ikatan kita.”
Tak terasa air mata Kinanti meleleh di pipi. Perlahan Dewa mengusap dengan jari-jari tangannya. “Terimakasih istriku, aku tidak pernah salah memilihmu untuk menjadi bagian penting hidupku. Selalu akan ada ujian yang datang menimpa kita, tetapi kekuatan hatimu meyakinkanku bahwa kita bisa melaluinya bersama hingga akhir hayat.”
Hujan rintik-rintik kembali turun, kali ini lebih terasa syahdu, bukan beku. Air yang turun dari langit seakan melarutkan bongkahan amarah yang menggumpal sejak pagi di hati Kinanti. Mereka pun menghabiskan sisa malam dengan saling berpelukan, menghapus sisa kesedihan. Besok saat matahari terbit, semuanya akan kembali baik-baik saja.
Hidup terus berjalan dan selalu ada tikungan serta tanjakan terjal, tetapi kali ini memiliki kekuatan baru yaitu keyakinan bahwa mereka bisa melaluinya bersama. Kehidupan bukan sebuah cerita indah penuh bunga, tetapi ada kesulitan yang mendera. Hanya butuh genggaman tangan untuk melalui itu semua karena bahagia adalah pilihan.
Salam kenal mbak Ainun. Cerpen yang indah dan memukau. Bahagia itu sesungguhnya sederhana,salah satu hikmah dari cerita ini/ Saya juga senang menulis cerpen dan beberapa diantaranya saya rangkum dalam Narsis (Narasi Romantis).Bisa baca koleksinya disini . Keep writing, keep shining !
Salam kenal Mas Amril, terimaksih udah berkenan membaca tulisan saya…saya harus belajar banyak niih sama Mas Amril… *menuju tkp mas Amril*
tulisanmu bagus-bagus mbak, aku suka, nano-nano rasanya :)
Hai Septi, duuh….terimakasih banyak, jadi tambah semangat nulis :’)