Jendela rumah Ibu Lily Kasoem

Hal-hal yang menyenangkan dalam hidup salah satunya adalah bertemu dan bisa ngobrol dengan orang-orang hebat. Dan itu bisa saya peroleh karena jadi volunteer di Akademi Berbagi (Akber). Atas bantuan Mba Yanti Nisro dari konsultan Tiga Pijar saya bisa bertemu dengan Ibu Lily Kasoem. Betapa girangnya, bisa bertemu dan ngobrol santai di rumah sekaligus gallery dan cafe Cikini 20.

Rumahnya asri dengan jendela besar dan pohon-pohon yang menyejukkan mata. Rumah putih dengan kursi-kursi ukir kayu melengkapi kenangan akan masa lalu. Sambil menunggu, saya melihat-lihat ruangan dan barang-barang yang dipajang. Ada banyak lukisan handycraft, kain batik dan ruangan khusus untuk duduk dan menikmati kopi serta cemilan.

Tak berapa lama, tampak seorang Ibu yang masih enerjik menggunakan gaun lace hitam diberi ikat pinggang berupa kain lace putih berjalan memasuki rumah. Beliau adalah Ibu Lily yang nampak masih sangat segar diusianya dan senang berjalan kaki.

Bahagia banget akhirnya bertemu dan bersalaman langsung dengan beliau. Seorang perempuan yang tidak tahu sukses itu apa karena masih banyak cita-citanya yang belum tercapai dan memiliki puluhan optik dengan nama Lily Kasoem. Seorang perempuan pekerja keras dan tangguh, yang nampak dari guratan wajah dan tatapan matanya. Waktu dan perjalanan hidup sudah menempanya. Saya selalu kagum dengan perempuan-perempuan yang berhasil membangun jejak karirnya secara konsisten dan mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Salah satu yang membuat kami sangat nyambung ketika ngobrol adalah kami sama-sama concern sekaligus prihatin terhadap dunia pendidikan di Indonesia.

Beliau mempunyai sekolah binaan SMK, karena beliau ingin mencetak teknisi. Di Bayat Klaten banyak anak putus sekolah dan gak tahu mau ngapain, sehingga SMK bisa menjadi solusi. Beliau sangat serius mengelola SMK, mengundang guru-guru yang memang ahli dan mengajarkan bahasa Inggris serta entrepreneur sebagai mata pelajaran wajib! Banyak volunteer dari luar negeri yang berkat networking ibu Lily bersedia mengajar di SMK tersebut.

Kegelisahan kami sama, pendidikan yang seharusnya menjadi jalan utama memperbaiki kehidupan manusia ternyata semakin mahal dan banyak yang tidak bermutu. Mereka hanya mengajarkan hafalan dan bagaimana mengejar nilai. Bu Lily mengungkapkan kegusarannya, akibat pendidikan yang seperti itu mental generasi penerus menjadi mental pengejar nilai atau angka. Tidak ada kesadaran untuk membangun karir dengan sebuah proses dan pengalaman yang menempa karena pendidikan tidak mengajarkan tentang attitude serta pola pikir yang kritis. Bahkan banyak generasi sekarang yang mudah menyerah pada kesulitan, bukan belajar bagaimana melampaui kesulitan itu. Generasi instant beliau menyebutnya.

Salah satu contoh pengalaman yang bikin beliau jengkel banget adalah, ketika beliau melihat ada salah satu anak yang sangat potensial tidak melanjutkan sekolahnya. Oleh Ibu Lily, anak tersebut ditawari meneruskan sekolah di Jakarta tinggal di rumah bu Lily dan semua biaya beliau tanggung. Jawaban orang tua nya adalah, kalau anaknya dibawa berarti tidak ada yang bantu jualan sehingga pendapatan berkurang. Orang tua itu pun bertanya apakah bu Lily berkenan membayar setiap bulan kepada orang tua anak tersebut setara dengan hasil jualan si anak jika meneruskan sekolah. Miris. Orang tua tidak memikirkan masa depan anak, hanya kepentingan materi saat itu.

Sebagai pengusaha, Ibu Lily merasakan betul mental anak-anak sekarang yang kurang tangguh serta maunya serba cepat. “Makin susah mencari pegawai yang mau bekerja keras, dan membangun karirnya dengan proses yang benar. Apa-apa maunya gaji besar dan pekerjaan enak. Bagaimana mereka bisa maju dan bersaing dengan negara lain?” ungkap Bu Lily dengan wajah yang sedih.

Rumah sekaligus Gallery Ibu Lily Kasoem

Belum lagi kalau ngomongin soal bantuan. Sebenarnya banyak sekali orang-orang yang concern dan mau membantu pendidikan di Indonesia. Bahkan teman-teman Ibu Lily bersedia jadi volunteer untuk mengajar para guru supaya punya kemampuan lebih. Bukan rahasia lagi kalau kualitas guru masih banyak yang di bawah standar. Tidak perlu bayar, hanya perlu disediakan tempat untuk tinggal seadanya. Ibu Lily sudah berkenan menampung para volunteer tersebut. Tetapi ketika tawaran pengajar untuk guru itu diajukan ke pemerintah supaya bisa masuk ke sekolah formal ditolak dengan berbagai alasan dan ah uh ah uh , intinya sulit untuk direalisasikan. Geram betul mendengarnya bukan? Bagaimana pun juga guru adalah kunci utama sebuah pendidikan. Bagaimana mau menghasilkan pendidikan berkualitas jika guru-gurunya melempem.

Kata Ibu Lily, ” Saya sudah setengahnya menyerahlah kalau ngurusin orang dewasa, apalagi para guru-guru itu. Udah saya urus anak-anak aja karena masa depan mereka masih panjang dan masih mudah diarahkan. Saya bikin sendiri sekolah untuk anak-anak dan beberapa tinggal di rumah saya, saya sekolahkan.”

Jadi bukan karena gak ada yang bantu, justru banyak sekali yang ingin bantu baik dari dalam atau pun luar negeri. Apalagi jaringan pengusaha yang dimiliki Ibu Lily sangatlah luas. Sebagai pengusaha dan putri seorang pengusaha yang sudah puluhan tahun berada di lingkungan tersebut pastilah networkingnya sangat besar. Cuma seringkali justru dari pemerintah atau institusi pendidikan formal yang membuat susah untuk menyalurkan bantuan.

Menjelang sore pembicarakan kami semakin menarik. Ketika saya singgung soal dana bantuan, beliau kemudian bercerita. Banyak orang mau membantu tetapi seringkali maunya sama yang mereka kenal atau rekomendasi orang yang dikenal. Jadi membangun networking itu perlu banget selain membangun kredibilitas kegiatannya. Tetapi ada hal lain yang tidak kalah penting, yaitu seringkali orang kirim proposal atau minta ketemu untuk mendapatkan dana bantuan. Setelah dibantu, sekedar sapaan atau ucapan terimakasih itu tidak ada. Apalagi laporan tentang jalannya kegiatan, blas gak ada. Bablas semua begitu duit diterima. “Bukannya kami minta perhatian atau laporan, tetapi kami sangat senang dan dihargai jika ada kabar setelah kita sumbang. Pasti orang itu senang kog dikasih tahu perkembangan kegiatan walaupun tidak minta. Sopan-santun untuk itu, masih kurang sekali. Yang ada malah, tahun depan kirim proposal lagi minta uang lagi. Wah, saya males tuh sama yang kayak gitu.”

Terimakasih Bu Lily, itu menjadi catatan penting untuk saya dalam menjalankan kegiatan Akber. Banyak pelajaran yang saya peroleh dari obrolan sore dengan Ibu Lily Kasoem. Mengenal sosok beliau secara dekat membuat saya semakin kagum. Seorang perempuan yang sukses dan sangat rendah hati.

Selamat sore, Ibu Lily Kasoem.

2 Replies to “Bertemu Lily Kasoem”

  1. memang ya mbak….
    akber itu luar biasa…
    baru sekali kelasnya kami gelar, link teman2 saya pun bertambah super drastis…
    apalagi sebagai penggeraknya, keberanian yang entah darimana datangnya bisa tiba-tiba datang..
    lobi orang-orang yang gak dikenal (walaupun ditolak), lobi tempat, dll…

    mudah2an di kota kelahiran saya yang super kecil ini, akber bisa menjadi lahan tumbuh bagi anak-anak muda di Langsa
    :)

    *bakalan sering blogwalking ne..

Tinggalkan Balasan