Hari ini saya ngetwit panjang atau biasa disebut kultwit sebuah cerita yang saya temui gara-gara menunggu pesawat yang delay di bandara. Dasarnya saya panikan maka selalu datang lebih awal. Kemudian ditambah delay, jadilah 4 jam lebih nongkrong di bandara. Dalam setiap perjalanan, selain HP yang gak boleh ketinggalan, saya selalu bawa buku untuk berjaga-jaga datang kecepetan atau delay sehingga tidak terlalu bete menunggu.

Saya biasanya gak begitu suka ngobrol di tempat-tempat umum dengan orang asing. Bukan karena sombong, tetapi sejujurnya saya selalu kikuk memulai pembicaraan yang saya tidak paham topik apa yang akan diperbincangkan. Dan saya gak begitu suka basa-basi hahahaa… Biasa memilih duduk di pojokan dan menenggelamkan diri dalam buaian buku.

Ketika sampai gate saya, ruang tunggu sudah penuh sekali akibat beberapa pesawat yang delay. Lebih mirip terminal bus sih, orang berserak-serak di lantai di gang dan di tangga. Beruntung masih ada satu tempat duduk tersisa nyempil di samping seorang Ibu. Setelah permisi dan memastikan bahwa tempat itu kosong, saya pun duduk dan meletakan “gembolan” di lantai. Sang Ibu tiba-tiba bertanya hendak kemana ngapain, dan dengan sopan saya jawab tujuan perjalanan. Dari raut muka sepertinya usia Ibu ini lebih dari 60 tahun, tetapi nampak energik dan selalu tersenyum tulus. Karena saya disapa duluan, kemudian saya pun berbasa-basi  tanya balik.

Kemudian percakapan pun mengalir, dari soal pesawat delay sampai tujuan perjalanan masing-masing. Karena perbincangan cukup lama, akhirnya sampai juga kami memperbincangkan keluarga masing-masing. Seperti biasa, saya tidak terlalu bisa banyak bicara dengan orang baru sehingga hanya sekilas saya bercerita keluarga dan kampung halaman saya. Kebanyakan saya mendengarkan cerita Sang Ibu.

Membicarakan keluarga selalu banyak cerita dan makna yang terkandung di dalamnya. Dan Sang Ibu dengan riang gembira tanpa beban menceritakan diri dan keluarganya. Mungkin beliau merasa nyaman bercerita dengan saya sehingga semua mengalir ringan. Padahal cerita yang kemudian beliau sampaikan tidaklah ringan!

Sang Ibu mengawali dengan menyebut dirinya janda, dan baru berpisah dengan suaminya setelah 37 tahun lebih menikah. Saya pun ternganga. Yang pertama tersirat di pikiran saya adalah: “kenapa sudah selama itu masih mau berpisah? Bukannya malah lebih banyak masalah jika berpisah?” Lintasan pikiran yang saya simpan sendiri dan nantinya terjawab. Saya pun tetap khusyu mendengarkan beliau bertutur.

Dua tahun yang lalu, secara resmi beliau bercerai. Keluarga besar tentu saja kecewa dan marah, bahkan ada yang menuduhnya “genit” mau cari kebebasan supaya dapat pasangan lain. Anak-anaknya pun marah, hanya putra sulungnya yang tetap tenang dan mendukung apapun keputusan sang Ibu.

Setelah usai menikahkan anak bungsuku, aku mengumpulkan semua anak menantuku. Aku sampaikan niatku untuk berpisah dengan Bapaknya anak-anak” begitu ungkap sang Ibu. Saya membayangkan itu seperti badai Catrina yang tiba-tiba meluluhlantakan segenap hati anak-anaknya. Mereka terkejut dengan keputusan Ibunya, dan mempertanyakan apa yang menyebabkan Ibu mengambil keputusan segawat itu.

Ibu adalah Ibu yang sumbu hidupnya adalah anak-anaknya. Begitu juga sang Ibu ini. Selama ini beliau sudah niat dan fokus akan membesarkan anak-anaknya hingga mereka mandiri dan berhasil. Semua daya upaya diusahakannya untuk menjaga keluarganya, dan berusaha menciptakan rumah yang damai untuk anak-anaknya. Karena beliau percaya keluarga yang sehat akan melahirkan anak-anak yang punya hati.

Selama perjalanan perkawinannya, banyak badai menerpa. Dari suaminya yang beberapa kali selingkuh bahkan salah satunya kemudian dinikahi dengan diam-diam, dan nafkah yang tidak selalu lancar beliau terima dengan lapang dada tanpa protes. Semua itu disimpan rapat-rapat tanpa satu orang anaknya tahu. Mungkin hanya si sulung yang diam-diam membaca apa yang terjadi. Sang Ibu tetap ceria mengasuh dan mendampingi anak-anaknya hingga besar. Penghasilan suami yang tidak jelas membuat dia merasa harus turun tangan dengan berjualan dari pakaian, keperluan sehari-hari hingga menjadi makelar tanah dan rumah. Semua dia kerjakan tanpa keluhan dan tanpa  muka menderita. Karena satu tujuan yang beliau perjuangkan: anak-anak harus tumbuh bahagia dan bisa mandiri berapa pun harga yang harus dibayar. Menelan semua kepedihan hati atas tingkah laku suami adalah kepahitan besar yang harus ditelan. “Saya mengasuh anak-anak dengan melupakan kebutuhan hati saya. Hati itu saya tinggal dan diamkan tanpa saya rasakan.” Semua tercurah untuk anak, hanya ada hati untuk anak-anak.

Sang Ibu tampak menghela nafas, walaupun senyum tetap tersungging di bibirnya. Betapa berat yang iya rasakan ketika harus menyampaikan berita pahit untuk anak-anaknya. Bagaimana pun menyakiti anak-anak adalah menyakiti diri sendiri. Tetapi sang Ibu sudah membulatkan tekad. Perpisahan adalah jalan untuk dirinya menemukan “hati” nya kembali. Beliau tidak ingin menyesal dalam hidupnya, di sisa usia yang dimiliki dia ingin melakukan apa yang diinginkan. Terbebas dari belenggu sakit hati, dan membagi hatinya untuk sesama.

Ketika anaknya yang bungsu marah dan sambil menangis meminta sang Ibu untuk membatalkan niatnya, sang Ibu berujar : “kalian sudah dewasa dan memiliki keluarga masing-masing. Tugas Ibu sudah selesai, saatnya aku memungut kembali hatiku yang sudah lama aku biarkan tersimpan rapat dalam kepahitan. Aku dan Bapakmu adalah orang tua kalian yang tidak luput dari salah. Karena kami manusia biasa. Apa yang terjadi pada diri kami, adalah kesalahan kami tetapi itu tidak bisa menghapus jasa sebagai orang tua. Kalian sudah dewasa, dan belajarlah dari kehidupan kami. Aku tahu kalian marah dan kecewa, tetapi jangan sampai kemarahanmu menghilangkan rasa hormatmu kepada orang tua. Aku percaya kemarahan ini hanya sesaat, dan akhirnya bisa menerima keputusan ini karena kalian dibesarkan dengan sepenuh hatiku. Hormati ayahmu juga istrinya, karena kemarahan yang terus menerus hanya menunjukan ketidakdewasaan kalian. Bahkan bisa merusak hidup kalian sendiri. Sekarang saatnya Ibu melanjutkan perjalanan di mana itu adalah pilihanku untuk bahagia di sisa usiaku. Ikhlaskan keputusan ibumu

Kata-kata sang Ibu begitu dalam dan penuh makna. Saya termangu dalam diam dan merasa ditampar. Tanpa tahu latar belakang sudah menvonis di pikiran tentang keputusan sang Ibu. Seringkali apa yang tampak di depan hanya secuil dan tidak berarti apa-apa karena jauh lebih banyak yang tidak  diketahui.

Pilihan Sang Ibu untuk bahagia dan menemukan hatinya bukan tanpa resiko. Keberaniannya menunjukkan ketangguhannya. “Aku berpisah bukan karena mau menikah lagi, aku ingin sendiri memaknai kebebasan dengan berbuat lebih banyak untuk adik-adik, ponakan dan keluarga lainnya yang kurang beruntung dalam hidupnya. Aku berkeliling dari satu ponakan ke ponakan lainnya, mengunjungi mereka selalu menyenangkan, apalagi kalau bisa membantu semampuku.”

Akhirnya panggilan menuju pesawat menyudahi cerita sang Ibu. Dengan penuh semangat dan mata berbinar, beliau memeluk saya.

“Terimakasih Ibu atas cerita yang luar biasa. Sampai hari ini saya tidak bisa melepaskan  raut wajah bahagia dan ceritamu.”

“Selamat melanjutkan perjalanan Ibu, temukan lebih banyak hatimu karena bahagia adalah pilihan.”

16 Replies to “#Oasehidup : Pilihan untuk Bahagia”

  1. mbrebes mili bacanya mba :(
    setiap orang memang punya garis hidupnya sendiri, punya definisi bahagia sendiri.
    salut dengan keputusan ibu itu, meskipun menurut orang lain itu nga sesuai norma kehidupan.
    selamat berpetualang bu, selamat menikmati kebahagiaan, bukan sekedar kebebasan. . .

  2. tidak ada pertemuan yg tanpa “skenario” NYA…sebagian besar kemampuan kita untuk mengerti makna/maksud dari hal itu sangat terbatas… setia memonitor tulisanmu Mbak Pasarsapi… Love U

Tinggalkan Balasan