Ramadhan telah tiba. Ini ramadhan yang 30-an kali saya temui. Apakah ramadhan berikutnya masih saya temui? Entahlah. Dulu waktu saya kecil, saya menyambut dengan sukacita dan penuh makna. Kekhusu’an terasa dimana-mana. Tanpa melupakan ritual khas kampung kami, seperti jalan-jalan di pagi hari setelah subuh, jaburan-makanan kecil yang dibagi di mesjid setelah sholat tarawih, mercon dan kembang api, ritual ramadhan yang sesungguhnya kami jalani yaitu mengaji di surau, tarawih bersama di mesjid, sholat subuh berjamaah, tadarus dengan suasana yang syahdu dan menentramkan.

Sekarang saya di ibukota, kesyahduan dan kekhusyu’an ramadhan berganti dengan ritual ramadhan yang hiruk pikuk dan artifisial. Sejenak saya mulai terganggu dengan ritual tersebut, entah mengapa. Mari kita lihat ritual  ramadhan di ibukota yang sudah saya alami hampir 10 kali :

1. Tayangan TV berganti dengan sinetron religi, maksudnya sinetron yang berbalut agama (pemainnya jilbaban dengan lebih sering mengucapkan lafal-lafal yang bernafas Islam) tetapi tetap dengan tema yang sama berlebihannya dengan sinetron biasa.

2. Para musisi -baik pop, rock,alternatif, dsb- mendadak berganti aliran menjadi musik religi. Kostumnya pun ikut berganti -koko, kopiah, sorban kalo perlu sarungan.

3. Acara TV tak jauh dari menu buka puasa, anggaran belanja di bulan ramadhan, tips tetap bugar saat kelaparan dan para pengusaha makanan dan minuman berlomba-lomba menggenjot tayangan iklannya secara bertubi-tubi dengan visual yang menerbitkan lapar dan dahaga.

4. Mal-mal dan pusat perbelanjaan tak mau ketinggalan. Marhaban yaa ramadhan menjadi tulisan wajib menyambut para tamunya dengan berbagai bahasa dan berbagai warna. Konter-konter jualan pun berganti dengan mayoritas disesuaikan dengan keperluan lebaran yang masih sebulan lagi seperti baju muslim, kue kering, parsel serta makanan wajib puasa kurma sehingga rasanya seperti di negeri Timur Tengah saking banyaknya kurma dengan berbagai rasa, gaya serta negara asal yang berbeda. Oh ya..tidak ketinggalan mbak-mbak penjaga mal mengganti rok mini dengan baju panjang dan kerudung walaupun tetap menonjolkan bodi aduhai. Pengunjungnya pun menyesuaikan kostumnya sesuai tema mal di bulan ramadhan. Mushola mal pun sama penuhnya dengan konter ZARA

5. Undangan pengajian sama banyaknya dengan undangan bazar ramadhan. Baik pengajian di lingkungan rumah, pengajian di masjid maupun pengajian di hotel bintang lima.

6. Kemacetan sedikit lebih parah dibanding hari biasa yang sudah parah, terutama di sore hari yang katanya orang berlomba-lomba ingin buka di rumah bersama keluarga. Walaupun di mal maupun resto tak kalah penuhnya. Semua penuh, tak peduli rasa makanannya enak apa ndak karu-karuan. Supaya dapat tempat, mereka sudah duduk dan memandang makanan yang sudah disajikan satu jam sebelum beduk dibunyikan. Jadi siapa yang buka di rumah?

7. Tayangan gosip berganti wajah, dengan pembawa acaranya berbusana muslimah dan tema-tema pengalaman spritual artis selama ramadhan dengan jawaban tidak pernah berganti hanya artisnya saja yang berubah menjadi baru dan muda-muda. Soal gosipnya? Teteeeup…diselipin diantara tausiyah dan dakwah ala artis.

Ahh…saya menjadi bosan dengan ritual-ritual kolosal itu. Entah mengapa sedikit membuat saya muak dan kehilangan spirit ramadhan yang dulu selalu saya dapatkan. Kekhusyu’an dan kedamaian terasa hilang. Mungkin saya saja yang bebal, hatinya membantu sehingga ritual-ritual itu tidak menyentuh. Atau selera saya yang kampung, sehingga tidak bisa menyelami ramadhan di tengah kemajuan peradaban. Ramadhan menjadi terlewatkan begitu saja tanpa pemaknaan dan keberkahan untuk saya.

Mungkin ramadhan kali ini, saya harus mencari sendiri kekhusyu’an ala saya ditengah ritual ramadhan metropolitan yang justru membuat saya semakin tidak bisa belajar menahan diri. Saya ingin berkah itu, saya ingin mendapatkan pembelajaran yang berarti. Menahan diri adalah bagian yang paling sulit buat saya, mumpung Yang KUASA memberikan banyak kemudahan untuk belajar menahan diri di bulan suci.

Saya tidak bisa menghentikan atau menggantikan tradisi-tradisi kolosal tersebut, yang saya bisa adalah mengubah tradisi saya sendiri. Pengaruh diluar hanyalah ujian kecil diantara badai dan gemuruh ombak dalam diri saya. Saya lah pemegang kendali atas diri, bukan mereka atau anda. Saya lah yang menentukan rasa yang ingin saya terima : khusu’ atau hiruk pikuk. Dan saya yang harus bertanggung tawab atas moral saya bukan mal atau TV.

Bukan kah berarti itu menjadi mudah, karena kekuasaan di tangan saya? Justru itulah kesulitan terbesar saya. Saya meyakini hal tersebut tapi saya tidak kuasa menjalani. Karena perkataan jauh lebih mudah dari pada kenyataan. Dan tantangan terbesar manusia adalah ketika dia bisa menundukkan dirinya sendiri. Musuh terbesar manusia adalah egoismenya sendiri. Apa saya mesti menyerah? Tidak juga, karena tidak ada jalan untukmelarikan diri semua harus dihadapi.

Saya harus belajar me”nunduk”an diri sendiri. Tidak mudah tetapi juga bukan tidak mungkin. Saya harus berusaha dan berproses untuk menuju kekhusyu’an, perkara hasil serahkan kepada Yang Kuasa. Karena BELIAU selalu memberikan jalan ditengah-tengah kesulitan. Usaha saya belum tentu berhasil sesuai keinginan saya, tetapi saya meyakini apa yang TUHAN beri atas usaha saya adalah yang terbaik yang bisa saya miliki. ENGKAU Maha Mengetahui dan Maha Pemberi. ENGKAU Maha Peyayang dan Maha Mengampuni. Manusia tempat salah dan lupa,

Maha Benar ALLAH dari segala salah dan lupa.

5 Replies to “RAMADHAN- pencarian makna diantara ritual kolosal”

  1. Wah, betul sekali itu. makanya saya kok belum pengin punya tipi. rasa-rasanya kok jadi ndak bisa mikir jernih gitu. tiap hari dicekokin hal yang itu itu saja.

    menurut pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila, intinya adalah pengendalian diri. *halah*

  2. iya. aku juga nyaris ga merasakan “apa-apa” ramadhan di jakarta. cuman kayaknya cukup tahu jalan untuk mendapatkan “sesuatu” itu.

    terimakasih mba yang udah sering banget nraktir buka bersama
    :)

Tinggalkan Balasan