Senja menjelang dan aku bergegas melanjutkan perjalanan untuk mengejar pertemuan berikut. Seperti biasa jalanan Jakarta selalu sibuk apalagi ketika sore hari semua berlomba ingin menuju tempat melepas lelah setelah seharian beraktivitas. Entah menuju rumah, mall atau hingar bingar keriaan malam. Seperti biasa pula, taksi kosong pun menjadi barang langka.

Ketika sedang berdiri di pinggir jalan sambil berharap ada mobil dengan lampu menyala di atasnya sebagai pertanda ada taksi kosong, tiba-tiba dari sisi kiri ada sosok tinggi dan menyapa: “Mbak!” Aku kaget dan refleks melompat ke sisi kanan. Setelah aku pandang baik-baik, ternyata teman lama yang udah gak pernah bertemu lagi.

“Apa kabar Pak? Masih kerja di situ?”

“Masih mbak, si Joko juga masih”

“Waah kalian awet banget ya….betah di kantor itu.”

“Iya Mbak, si Ani juga balik lagi kerja sama saya.”

“Loh..bukannya waktu itu Ani keluar karena ketahuan selingkuh sama Joko, terus bininya Joko ngamuk2 di kantor. Aku denger juga si Ani udah nikah, dan punya anak. Yah semoga si Ani dan Joko gak berulah lagi.”

“Lah..Ani dan Joko sih masih berhubungan mbak sampai sekarang. Waktu Ani keluar juga mereka gak putus kog. Dan anaknya itu memang anaknya Joko.”

“Loh…suaminya Ani gimana? Apa gak marah?”

Obrolan yang awalnya basa-basi kemudian menjadi serius. Aku pun melupakan sejenak harapan untuk mendapatkan taksi, dan menyimak cerita dengan seksama.

“Jadi pernikahan Ani sama suaminya itu bohongan mbak, untuk menutupi kelakuan masing-masing. Ani tetap berhubungan dengan Joko dan anak itu memang anaknya Joko. Sedangkan suami Ani kan pacaran sama istri juragannya. Mereka tahu sama tahu untuk saling menutupi. Yang penting hubungan masing-masing aman gak ada yang mencurigai. Orang kantor pada tahu kog mbak, tapi mereka tutup mulut jangan sampai si Bos tahu”

Oh!

Aku pikir hanya ada di sinetron tentang pernikahan palsu demi menutupi segala perselingkuhan. Aku pikir cuma di sinetron ada juragan pacaran sama sopir, aku pikir cuma di sinetron percintaan yang sedemikian rumitnya.

Aku pun menghela nafas panjang, tepat pada saat melihat jalan ada taksi kosong lewat. Setelah berhasil kucegat, aku pamitan sambil teriak,”sampai ketemu lagi ya Pak, semoga sehat dan lancar pekerjaannya,” sambil melambaikan tangan, aku bergeas masuk ke dalam taksi.

Duduk di belakang dalam keheningan senja yang merayap hilang berganti dengan malam, aku mengurai pikiranku yang penuh dengan hasil pembicaraan singkat tidak lebih dari setengah jam tadi. Shock dan masih tidak bisa menelaah dengan baik. Joko dan Ani gak tamat SMP, begitu piawai. Skenario hidup yang mereka bikin mungkin melebihi level sarjana. Sarjana kehidupan yang pahit dan penuh kepalsuan yang mereka alami. Mungkin memang aku yang ndeso tidak mengikuti perkembangan jaman, dan mungkin banyak yang lebih drama di luar sana.

Hidup memang keras, Jendral!

Jalanan pun menggelap dan pikiranku pun penat.

One Reply to “Pojokan Jakarta”

  1. Joko dan Ani tidak tercerahkan secara ilmu pengetahuan. Mungkin pandanganku membaca karena mereka gak tamat SMP ya. Jika mereka teredukasi dengan baik, kegiatan seperti sinetron itu gak bakal terjadi. Trus, segmentasi sinetron tuh untuk orang-orang yang kurang tercerahkan mbak. Klo omong jenjang akademis ya mereka yang suka sh*tnetron itu orang tamatan SD, SMP dan SMU. Lihatlah orang yang tamatan S1 sampai S3, mayoritas akan berpikir lebih bijak dan penuh dengan pride :)

Tinggalkan Balasan