holding-hands

Pagi ini tiba-tiba saya pengin menuliskan tentang pernikahan gara-gara membaca postingan blog teman saya Hesty di sini:http://ceritahesty.blogspot.com/2012/03/lagi-lagi-tentang-menikah.html?m=1

Pertanyaaan “kapan menikah“, atau kalau ada kakak adik teman menikah dilanjutkan dengan pertanyaan “kapan nyusul” menjadi momok sendiri bagi perempuan-perempuan single matang. Akhir-akhir ini saya sering menemukan perempuan dengan umur yang cukup matang tetapi masih single. Ada yang karena pilihan sadar ada yang karena belum menemukan pasangan yang sesuai walaupun keinginan menikah sudah meletup-letup. Entah karena semakin banyak perempuan yang mandiri sehingga kehadiran pria tidak menjadi target utama, atau karena perempuan makin aktif untuk mengembangkan diri sehingga tidak terlalu fokus mencari pasangan dan ketika sadar akan kebutuhan berpasangan usia sudah merambat naik sehingga pangsa pasar makin terbatas, atau standar untuk jadi pasangan semakin tinggi sehingga makin sulit dicari atau jangan-jangan benar bahwa lelaki baik semakin langka?

Urusan jodoh menurut saya urusan yang kompleks sekaligus personal. Tidak ada tips yang jitu untuk mendapatkan jodoh yang sesuai karena setiap orang punya preferensi dan cara yang berbeda dan semua sah-sah saja. Konon katanya All is fair in LOVE and war. Sebagai manusia yang lahir di Indonesia di mana sistem kekerabatan sangat lekat, pertanyaan di atas sering banget dilontarkan dan banyak perempuan-perempuan yang terganggu dengan hal itu. Para pria juga ada yang ditanya begitu, tetapi mereka relatif cuek dan memang lebih banyak perempuan yang dikejar pertanyaan tersebut  karena terkait dengan adanya usia biologis bagi perempuan. Dulu saya pernah membuat twit serial tentang tips menjawab pertanyaan “kapan menikah” atau “kapan nyusul” secara bercandaan dan responnya banyak banget. Sepertinya sudah menjadi problem nasional perempuan lajang Indonesia.

Mari kita mencoba melihat dari sisi lain. Sejujurnya, saya tidak pernah terganggu dengan pertanyaan itu. Kenapa? Di pikiran saya ada dua hal kenapa orang bertanya itu: 1. sebagai bahan pembuka pembicaraan, dan itu jamak terjadi di negeri ini. Small talk (atau basa-basi) di negeri ini lebih ke urusan personal sebagai dampak kekerabatan yang erat bukan soal cuaca, atau politik serta ekonomi. Agak lucu juga ya kalau kita basa-basi sama teman membicarakan cuaca yang cuma ada 2 (tidak seperti negara lain yang cuaca ada 4 dan berubah-ubah secara ekstrim). Kesannya malah basi beneran. 2. Pertanyaan itu adalah bentuk perhatian dan kepedulian.

Saya selalu menganggap mereka bertanya karena dua hal itu. Kalau teman atau kenalan yang gak begitu dekat, saya menganggap dia pengin membuka obrolan dengan saya. Jadi saya pun menjawab dengan santai, tanpa beban dan kadang secara bercandaan. Kadang malah jadi obrolan lucu yang bisa mengakrabkan.

Jika yang bertanya orang dekat, saya menganggap itu bentuk perhatian, dan saya senang diperhatikan. Biasanya saya jawab dengan serius dan kadang malah meminta bantuan siapa tahu jodoh kita bisa lewat dia. Siapa tahu looo..kan kita gak tahu jodoh datang dari mana. Saya justru sering membayangkan, jika tidak ada yang bertanya, berarti gak ada yang perhatian dong sama kita. Dan saya kog merasa garing ya jika gak ada yang perhatian. Dunia terasa makin sepi sendiri dan merana. Okay yang terakhir abaikan, itu lebay :)

Saya gak pernah merasa bahwa orang yang bertanya mau ikut campur dalam kehidupan pribadi saya, toh memang sudah jadi kultur bangsa kita yang sistem kekerabatannya sangat kental. Memang kehidupan modern memberikan banyak perubahan termasuk perubahan perilaku dalam berkomunikasi. Generasi yang lebih modern mulai menjaga privasi dengan sangat erat dan mulai membuat kapling mana urusan personal mana urusan publik dalam bersosialisasi secara jelas. Tapi perlu dingat sebagian masih generasi lama yang privasi tidak dijunjung lebih tinggi dari kekerabatan, dan menurut mereka sah-sah saja masuk ke wilayah privat karena selama bertahun-tahun budaya yang mereka kenal seperti itu.

Saya generasi setengah analog setengah digital memaklumi adanya ‘generation gap” dalam pola berkomunikasi dan menikmatinya. Saya juga menjunjung privasi, tetapi kalau sekedar ditanya atau disapa mengenai urusan pribadi jawabannya sepenuhnya wewenang kita. Mau dijawab dengan bercanda, basa-basi atau jujur diri saya sendiri yang menentukan. Justru yang terpenting adalah jangan pernah pertanyaan itu merusak kebahagiaan saya, jangan! Jangan mau dibuat galau hanya karena sebuah pertanyaan yang mungkin saja yang melontarkan beberapa menit kemudian sudah lupa. Kenapa kita yang jadi repot yak? Prinsip saya kalau mereka melontarkan pertanyaan dengan ringan, saya pun membalas dengan ringan gak jadi beban.

Ingat, bahagia adalah pilihan sadar kita.

Jangan biarkan orang lain merusaknya apalagi cuma sekedar ditanya. Urusan hidup  masih banyak, Jendral!

 

34 Replies to “Kapan Nyusul (menikah) ?”

  1. Haha… Jujur aku pernah berada dalam masa BT kalo ada yg nanya, “Kapan nyusul?” justru di saat aku ketika itu masih punya pacar. Kalo wkt itu ga nikah2 jg (pdhl pacarannya udh cukup lama) karena memang merasa belum pengen. Jd risih aja ditanya2 terus. :p tp yah… BT nya paling cuma bentar aja, kok. Kenapa jg dipusingin lama2? :D

  2. ntah kenapa saya masih terganggu dengan pertanyaan itu mba, ga ganggu kebahagiaan tapi sedikit bikin minder… berasa ga mampu aja gtu, temen2 udah pada nikah, saya? pacar aja belum punya *alakh malah surhat :))

    1. Gak ganggu kebahagiaan tapi bikin sedikit minder? Sama aja non, minder kan bikin gak bahagia. Duh..jangan minder dong! Urusan jodoh bukan soal mampu gak mampu loo *peluk jauh*

  3. Saya yang sudah menikahpun kadang masih ditanya-tanya kok, misalnya: muda amat dulu nikahnya?
    Ya sakkarepku tho :)))) Selak diembat orang jeh :p

    1. Iya ya, kalo Ibu yg nanya itu lebih complicated. Karena ada harapan dan tuntutan di situ. Aku sih biasanya ngobrol jujur ttg keadaan dan harapan tentang jodoh. Dan minta nasehat beliau. Kadang dimintai pendapat juga menggembirakn Ibu. Ini pengalamanku sih, belum tentu pas buat kamu dan ibumu. Pokoknya yang terbaik untukmu ya Mil :)

  4. Menurutku membuka pembicaraan dengan “kapan nikah?” adalah bentuk ketidakkreatifan penanya. Padahal di masa socmed begini, kita bs cari topik small-talk yg lebih kreatif lho. Mis. kerjaan baru, abis jalan2 ke mana, dll.

    *ini komennya selo lho :mrgreen:

    1. Bener Nondit kalo bentuk ketidakkreatifan,aku pribadi juga sering kebingungan mencari topik small-talk akhirnya mengulang basa-basi yg itu2 aja yg biasa orang bicarakan.

  5. bahagia adalah sebab, bukan akibat.
    sehingga bukan karena menikah, maka kita bahagia. belum tentu, toh ada juga yang sudah menikah, tapi tidak bahagia.
    bahagia itu diri kita sendiri yang menciptakan, dari dalam, bukan disebabkan oleh segala sesuatu dari luar diri.
    jika kebahagiaan kita masih berasal dari luar diri, termasuk kebahagiaan kita mudah dirusak karena pertanyaan “kapan nyusul (menikah) ?” maka kita masih menjadi budak :-)
    dan jika masih mengharapkan kebahagiaan dari luar diri, maka tidak ada habisnya, kebahagiaan akan terasa semakin menjauh …
    terima kasih sudah menuliskan ini, mba Ai :-)

  6. Kalo lagi kumat jailnya, pengen jawab: udah pernah hahahaha…
    Pada akhirnya aku sudah kebal dengan pertanyaan ini, dan kemudian ngelirik balik yang nanyak dengan tatapan tajam mengandung arti: Gw mintak uang jajan sama elo? *keji*
    Yang nanyak juga udah bosen kayaknya, apalagi kalo simbol-simbol kemakmuran metropolitan dikeluarin sebelum pertanyaan itu dilontarkan hahahaha

  7. tergantung “mood” yang ditanya juga ya kak bila topik pertanyaan seperti itu :)
    di saat lagi moody, biasanya aku akan response balik:
    -alhamdullilah, sudah ada 2 calonnya, doakan saja..yang satu belum lahir masih di rahim emaknya..yang 1 lagi baru saja mampus di tabrak tronton pas lagi nyebrang..
    di lain hal kalo suasana”otak” dan domped sedang berdarah-darah..
    pertanyaan tersebut akan membuat “reaktif”yang ditanya…
    -“pertanyaan loe keren berroo…emang pas gua kimpoi nanti ada 25jt angpaw ke gue?
    ya minimal loe bisa cicil sekarang itu angpaw..ini no rek nya”

    ya itu saja kak comment dari aku..
    cowo keren ganteng soleh agamais religius bin memancarkan cahaya iman di wajah..
    masih jomblo dengan membahagiakan istri orang..

  8. Basa-basi “Kapan nyusul (nikah)” mungkin cukup bikin BT buat sebagian orang.
    Tetapi yang lebih menyakitkan adalah pertanyaan
    “Kapan punya anak?” atau “Momongannya mana?”
    Bagi perempuan menikah tapi sudah bertahun-tahun belum dikaruniai momongan. Meskipun sudah mencoba berobat berbagai cara, tapi hasilnya negatif.
    Pertanyaan ini bukan hanya menyakitkan, tapi menjadi tambahan beban psikologis, gak usah ditanya aja udah jadi beban pikiran tiap hari. Efek lainnya kalo sang istri sudah “menyerah” dan bosan dengan kondisi ini, bisa jadi dia akan menganjurkan pasangannya untuk menikah lagi dengan perempuan lain.

    1. Betul Kur, kalo pertanyaan kapan punya momongan itu bukan lagi basa basi atau perhatian. Menurutku berbeda dgn pertanyaan kapan nikah. Punya anak hak prerogatif Tuhan yang tidak layak dipertanyakan. Dan aku bisa paham kalo itu bisa membuat beban. Semoga semua perempuan2 berkeluarga yg belum punya anak diberi kekuatan

  9. Kalau aku mah gak pernah musingin pertanyaan2 kayak gini.. lha keluuarga terdekat aja gak pernah nanya, kalaupun ada yg nanya, malah ibu yg ngebelain, “Dita nya masih mau sekolah dulu.” atau “Dita nya masih mau kerja dulu.”.. hahaha… percayalah, setelah menikahpun akan ada pertanyaan “udah isi atau belum?” setelah punya anak ada lagi “kapan nambah adek buat si kecil”, hingga ke ntar pas udah tua “kapan mantu?” dst… pppfffttt…

  10. ditanya soal kapan nikah sama halnya dengan ditanya kapan lulus/kapan wisuda bagi mahasiswa tingkat akhir contone aku dewe, podo podo miris batin rasane kemranyah hehehe
    SLOW KENDO WAELAH……….

Tinggalkan Balasan