Perbincangan sore dengan teman perempuan A

Dia : aku gak mau punya anak

Me: *terdiam menunggu kelanjutan*

Dia: tapi aku pengin menikah punya suami, tapi aku gak mau punya anak.

 

Perbincangan sore dengan teman perempuan B

Dia : aku pengin banget punya anak

Me: *menunggu kelanjutan*

Dia: tapi aku gak mau menikah. Bisa gak ya di sini punya anak tapi gak menikah? Aku pengin melahirkan anakku, satu aja cukup.

 

Perbincangan yang “tidak biasa” dan bikin gemes orang-orang yang merasa menjadi penjaga moral bangsa untuk turun tangan dan berceramah demi meluruskan dari kesesatan hahahaa…

Saya tidak membahas dari sisi moral. Siapalah saya sok-sokan mau berceramah soal moral, ngaca dulu deh :)

Saya ingin membicarakan tentang perempuan sekarang yang mungkin sudah mengalami perubahan tentang pandangan hidup dan peranannya. Kalau dulu, menikah dan punya anak adalah harga mati. Setiap perempuan dewasa pasti akan ditanya kapan menikah, dan menjadi sangat cemas ketika usia semakin merambat naik pasangan tak kunjung datang. Cap sebagai perawan tua menjadi momok kehidupan. Perempuan yang sudah menikah tetapi tidak punya anak pun tak luput jadi bahan cela. Seringkali ketiadaan keturunan dianggap salah pihak perempuan dan dicap sebagai perempuan gabuk atau bukan perempuan yang sempurna.

Jaman telah berubah. Sekarang perempuan lebih berani untuk mengemukakan pilihannya, dan pernikahan atau keturunan adalah bagian dari pilihan bukan lagi tujuan hidup -wajib – selanjutnya – setelah dewasa. Pernikahan dan punya anak bukan lagi menjadi tujuan satu-satunya. Banyak pilihan yang tersedia, walaupun tidak semua pilihan itu mudah. Seperti perbincangan dengan teman saya tersebut bukan merupakan pilihan yang mudah, karena pasti banyak pertentangan baik dari keluarga atau pun lingkungan terdekat.

Dunia sekarang memberikan banyak ruang untuk perempuan berkiprah, dan perkawinan atau punya anak bukan lagi menjadi cita-cita satu-satunya. Pertanyaan yang seringkali muncul adalah: “ apakah jika aku menikah ada jaminan untuk bahagia?” atau pernyataan seperti ini juga mulai muncul, “kita ingin bahagia dengan mempunyai anak, tetapi kita sendiri belum tentu bisa membuat anak kita bahagia. Bukankah itu egois?”

Senja itu membuat saya menerawang tentang kehidupan.Tentang pilihan-pilihan dalam hidup dan tentang konsekuensi menjadi perempuan. Saya pun punya pilihan sendiri tentang perkawinan, pasangan dan keturunan. Jalan hidup setiap manusia berbeda dengan berbagai pilihan serta konsekuensinya. Tetapi semua orang ingin bahagia, dan bahagia adalah pilihan juga, bukan?

 

32 Replies to “Perempuan dan Pilihan”

        1. iya itu jadi ketakutanku juga….tapi buat temanku keturunan jadi beban seumur hidup yang berat pertanggungjawabannya. Lagi-lagi soal pilihan :)

          1. iyo mbak..kebanyakan juga bilang gitu, keturunan bisa jadi beban ..khususnya finansial… lah kalo dah jawab gitu tak tawari melu asuransi jiwa ae.. lek mati turunane oleh duit cash besar :D

  1. Memang benar ini pilihan sulit,selalu ada pembeda antara wanita dan laki2,kapan menikah selalu menjadi pertanyaan rutin di pertemuan keluarga apalagi jika sudah keduluan saudara.Wanita selalu dianggap beban.

  2. Mau punya pasangan. Kalau menikah masih belum tahu. Kalau punya anak ummm…

    *menunggu ;)

    Jadi perempuan B dan memikirkan kalimat tepat ketika si anak tanya, “keluarga itu apa?.”
    Njlimet ahhh

  3. Aku sempet kayak si A sih, mba.
    kok ya kepikirnya, happily ever after berduaan kayak film UP itu nampak menyenangkan.

    Tapiiii,lalalala, aku berubah pikiran.
    Sekarang doaku melulu supaya anakku nanti bisa bahagia, seperti emaknya yang bahagia banget dikasi kesempatan untuk ‘mempunyai’ dia beberapa lama.

    PS : Salam buat anak gadis tinggi langsing itu, mba. :*

  4. aku memutuskan tidak menikah sejak agak tahu apa itu menikah. ribet gila diliat dari sudut pandang manapun.
    sementara kesenangan (atau kebahagiaan) yang setara dengan pernikahan bisa diperoleh dengan cara tidak perlu menikah :) *peace

  5. Sebuah kemajuan yang sangat dahsyat bagi perempuan2 di Indonesia. Tapi apa mereka nggak berpikir bagaimana nanti kalau tua dan sakit? Semula saya punya pikiran seperti dialog pertama. Akan tetapi ketika ibu saya sakit dan kebetulan saya anak tunggal, saya baru merasakan kesepian ibu. Ibu saya mempunyai banyak teman dan sahabat bahkan yang karibpun tak terhitung. Ketika sehari dua hari sampai hari ke 7 masih banyak sahabat dan kawan karib yang datang menjenguk dan menunggui. Akan tetapi menginjak hari ke 8 dan seterusnya, hanya saya yang menjaganya. Mungkin karena kesibukan dan menjelang lebaran penyebabnya. Di sini ibu saya menangis dan meminta maaf kepada saya, karena ibu saya dulu lebih banyak bersosialita dengan temannya daripada menghabiskan waktunya dengan saya. Akhirnya saya mendapatkan sebuah pelajaran yang cukup bijak dari ibu saya, jagalah anakmu, habiskan waktumu dengan anakmu, karena dialah nanti yang akan selalu menjagamu disaat tak ada lagi teman dan sahabt karibmu yang karena kesibuknnya bisa menemanimu. Sorry kalau gak nyambung.

    1. eh..gak papa….gak usah sorry :)
      Semua boleh berpendapat dan ini bukan ajang mencari salah benar kog, tetapi bertukar pandangan. Good luck untukmu :)

  6. tentang “Pilihan”,
    kalo kata Emakku : “Tidak ada Pilihan yang Salah nakk…begitu juga pilihanmu..
    Yang salah adalah ketika kamu tidak bisa mempertanggung jawabkan pilihan yang telah kamu pilih..”
    hehehehe.. :)

  7. Beda lagi di kampung saya mbak..
    kebanyakan mereka gak punya banyak pilihan, bahkan kadang emang gak punya pilihan. disekolahin sampek SMP aja yha manut, abis itu dinikahin/dijodohin yha manuttt..
    orang kampung saya masih menganggap, perempuan itu gak berguna, perempuan itu cukup di dapur saja. Menyedihkan.

  8. Kalau melihat percakapan A dan B, berarti aku termasuk orang yang konservatif :D. Karena menikah dan punya anak. Bener kata mas KW, menikah itu ribet gila. Menyatukan dua kepala (+kepala anak) dengan isi otak berbeda merupakan tantangan tersendiri. Belum yang lain-lain dari persoalan remeh temeh sampai hal hal besar. Tapi menurutku disitulah seninya menikah. Life like roller coaster.. Halah. Hidup penuh kejutan. Banyak sekali hal hal baru dipelajari yang rasanya jarang diperoleh bagi yang belum/tidak menikah. Bersyukur masih diberi kesempatan untuk menjadi suami sekaligus ayah.

    1. kalo kata temanku, pernikahan itu bukan tujuan tetapi jalan untuk menjadi manusia yang lebih bijaksana. karena pernikahan bukan hal mudah,tapi sarat dengan pembelajaran kehidupan :)

      1. Betul banget, memang bukan tujuan. Melainkan awal mula kehidupan baru. Makanya seringkali diibaratkan pernikahan itu seperti menaiki perahu. Kadang air tenang angin bersahabat, kadangkala ada badai besar menggulung. Makanya para awak kapal harus menjadi tim yang solid.

        Btw, semalem habis bukber sama KW di Penvil ya mbak. Tau gitu ikut nimbrung, cuma nyebrang dari kantor. Baca TLnya udah malem si.

Tinggalkan Balasan