Dua hari ini di twitter ramai dengan hastag #ShameonyouSBY yang nangkring jadi trending topic dunia lebih dr 33 jam. Lebih dari 290 ribu mention hastag tersebut. Hal ini akibat dari produk paling mutakhir yang dikeluarkan oleh anggota dewan yaitu: mencabut pemilihan kepala daerah kabupaten/kota dan propinsi secara langsung dikembalikan hak nya kepada DPRD. Kenapa SBY yang jadi sasaran? Karena sebelumnya sudah membuat statemen melalui channel youtube bahwa sebagai Ketua sekaligus Dewan Penasehat partai Demokrat akan mendukung sepenuhnya pilkada langsung. Alih-alih itu terjadi, yang ada malah walk out dari persidangan. Rakyat yang berharap besar pada partai tersebut dibuat kecewa atau istilah anak sekarang di PHP in (Pemberi Harapan Palsu).

Saya tidak akan ngomong panjang lebar soal itu, tetapi lebih ingin membahas tentang lebih baik mana: Pilkada langsung atau melalui DPRD. Saya membaca kedua argumen tersebut di social media. Tentunya argumen dari para ahli yang memang paham bukan sekedar marah karena urusan beda partai. Lebih dari 10 tahun saya bekerja di lingkungan politik, berada dalam pusaran kekuasaan kemudian masuk di dalam partai sebagai pegawai salah satu petingginya. Posisi sebagai pegawai memungkinkan saya bertemu tokoh-tokoh politik, melihat dan mendengar langsung bagaimana mereka bekerja. Bahkan ketika atasan saya menjadi petinggi partai, secara operasional saya menjadi terlibat. Sehingga saya makin paham seluk beluk di dalamnya.

Beberapa orang berkicau di twitter dan social media channel lain, bahwa apa yang diputuskan DPR terhadap UU Pilkada adalah hasil dari ketidakmauan kita terjun ke politik. Orang-orang pintar dan benar gak ada yang mau masuk partai jadi jangan salahkan pemerintah kalau hasil keputusan DPR seperti itu. Tapi apa benar orang-orang potensial gak mau masuk politik? Dulu ketika saya ada dalam pusaran politik, dan melihat bagaimana partai diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki kapasitas, saya dan beberapa teman kemudian mengajak orang-orang potensial masuk ke partai. Yang terjadi adalah usulan kami dibiarkan tidak diproses (ditolak secara halus) atau ditertawakan oleh orang-orang partai. Karena yang mau masuk partai antrinya udah panjang dan itu teman atau kerabat mereka yang sudah di dalam. Apalagi ketika pencalegan, atasan saya minta usulan siapa yang bisa jadi calep potensial. Yang ada berkas-berkas calon potensial ini hanya numpuk dipojokan kantor partai gak pernah sampai ke KPU atau kalau pun lolos “dibuang” ke daerah pemilihan yang kering. Di mana secara akses sulit dan namanya pun tidak dikenal. Praktek-praktek seperti itu banyak dilakukan di beberapa partai. Mereka hanya mau memasukan teman atau saudaranya itu pun harus ada “uang mahar” yang tidak sedikit. Jadi saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan bahwa kualitas anggota DPR seperti sekarang karena orang-orang potensial apatis. Bagaimana pertempuran di dalam partai sangat melelahkan, logika yang digunakan dalam rapat amburadul dan jujur kalau anda waras akan gak tahan dengan segala proses argumentasi di dalam sebuah rapat partai. Akhirnya yang bisa mikir menyingkir. Itu yang saya liat beberapa kali ketika di lingkungan politik.

Lalu sebaiknya pemilihan langsung atau via DPRD? Sejujurnya pemilihan via DPRD tidak sepenuhnya buruk. Beberapa negara maju menggunakan sistem itu dan berjalan baik. Bagaimana di Indonesia? Proses pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan berjalan baik jika anggota dewan yang memutuskan sebagian besar memiliki kapasitas yang memadai. Sayangnya di Indonesia itu belum terjadi. Apapun ideologi partainya, uang masih jadi mesin utama. Keputusan yang terjadi masih melibatkan uang di dalamnya. Beda dengan di negara maju yang sudah matang dan mengalami proses panjang dalam berpolitik.

Berdasarkan hal di atas, sampai hari ini dan ke depan saya masih menganggap pemilihan langsung yang terbaik untuk Indonesia dengan melihat kondisi anggota Dewan. Politik uang pasti masih terjadi, tetapi lebih sulit nyogok 10 juta orang daripada 100 anggota dewan bukan? Terbukti pemimpin-pemimpin potensial lahir dari pemilihan langsung. Ada sedikit celah untuk membuat perubahan di negeri ini melalui pilkada langsung. Selain itu, hal yang penting adalah dengan pilkada langsung rakyat sebagai penentu, mau tidak mau ikut bertanggung jawab dalam proses jalannya pemerintahan. Bahwa pilkada langsung dinilai boros, seharusnya dicari jalan dan mekanisme supaya bisa menggunakan anggaran dengan efisien bukan dengan menutup celah harapan dan mencabut hak rakyat untuk berpartisipasi langsung.

Tidak ada sistem yang ideal. Setiap negara harus mencari formula masing-masing karena karakteristik masyarakat dan latar belakang sejarah berbeda. Apa yang terbaik bagi negara maju belum tentu itu yang sesuai untuk Indonesia. Dan jangan lupa sistem apapun yang akan diterapkan argumen utamanya harus kepentingan rakyat bukan menggunakan rakyat untuk kepentingan kelompok atau sekedar membalas sakit hati atas gagalnya koalisi. Butuh kearifan untuk bisa melihat itu semua.

Tinggalkan Balasan