Indonesia negara gemah ripah loh jinawi, bukan hanya mendatangkan berkah tetapi juga kesulitan. Lo kok kesulitan?
Negeri yang kaya raya dengan sumber daya alam–sehingga tanam kayu aja bisa jadi harta karun–ternyata menyimpan bongkahan persoalan. Yang pertama, saking makmurnya, warga kita jadi pemalas. Gak bisa makan, tinggal jalan ke kebun belakang. Musim cuma dua, hujan dan panas, sehingga sepanjang tahun bisa panen berbagai tanaman dan peternakan. Yang kedua, saking kayanya, negeri ini jadi incaran banyak bangsa lain. Kalau zaman dulu kala kita dijajah berbagai bangsa, sekarang ribet dengan segala macam kontrak kerja sama dengan perusahaan asing yang tidak menguntungkan negeri ini.
Kusutnya Negeri Ini
Saking menggiurkannya, bukan hanya pengusaha tambang asing yang terlibat dalam bisnis di negeri ini, tetapi juga pemerintahnya ikut turun tangan demi menjaga bisnis warga yang menjadi penyetor pajak terbesar. Tujuannya apalagi kalau bukan supaya aman dan terus menghasilkan.
Kusut? Banget! Kombinasi dari sumber daya manusia negeri ini yang kurang mumpuni (akibat gemah ripah dan jadi males mengembangkan diri) serta banyaknya pihak (negara) lain yang ikut campur demi mengamankan bisnis masing-masing.
Pemerintah sebagai pemegang regulator tertinggi, harus pintar-pintar mencari jalan keluar yang terbaik sehingga bisa meningkatkan pemasukan negara sekaligus tidak merugikan rakyatnya serta tidak melanggar undang-undang. Ibarat penari, harus punya badan sangat lentur sehingga mampu meliuk-liuk di antara ranjau. Susah? Pastinya. Melakukan perubahan atas sesuatu yang sudah dinikmati berpuluh-puluh tahun berpotensi mengganggu “kenyamanan” sehingga menimbulkan pertentangan.
Penunjukan Inalum sebagai Perusahaan Holding Tambang
Sebagai kasus contoh, penunjukan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) sebagai perusahaan holding tambang, dan PT Aneka Tambang (Antam), PT Bukit Asam, dan PT Timah sebagai anak perusahaan Inalum. Hal ini menuai gugatan dari koalisi masyarakat sipil karena dianggap melanggar undang-undang, seperti diberitakan oleh CNNIndonesia.com.
Banyak jalan yang bisa dipilih pemerintah. Meningkatkan efisiensi untuk mengurangi beban pemerintah atau memperbesar bisnis untuk meningkatkan pendapatan. Tetapi lagi-lagi risiko harus dipikirkan. Lebih banyak mudharat atau manfaatnya? Pemerintah harus hati-hati dalam mengambil keputusan maupun melakukan perubahan. Karena salah goyang, bisa runyam!
Penggabungan Inalum sebagai Langkah Efisiensi?
Menggabungkan beberapa perusahaan milik Pemerintah (BUMN) menjadi satu holding, seperti kasus PT Inalum dan anak perusahaannya, sebagai langkah efisiensi untuk meningkatkan pemasukan adalah hal yang wajar.
Tapi ini bisa dilihat dari dua sisi. Sisi pertama, pemerintah bisa lebih efisien dalam mengelolanya karena lebih terfokus pada satu perusahaan. Di sisi lain, perusahaan menjadi holding menyebabkan kuasa pemerintah atas bisnis tersebut menjadi lebih kecil karena anak perusahaan berbentuk swasta–bukan BUMN ataupun persero lagi.
Jika kuasa pemerintah berkurang, maka kewenangan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam menjadi kecil. Perannya sebagai penjaga UUD 1945 bisa dipertanyakan publik. Sedangkan efisiensi tidak selalu meningkatkan pendapatan, karena banyak faktor yang menjadi penyebabnya.
Pemerintah, Hati-Hati!
Pro dan kontra selalu ada. Tinggal bagaimana melihatnya. Apakah kepentingan yang lebih besar, yaitu kesejahteraan masyarakat sesuai amanat UU bisa tercapai dengan keputusan pemerintah tentang efisiensi?
Apakah amanat UUD 1945 tentang ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3)” sudah dijalankan?
Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam membuat peraturan serta kebijakan. Setuju bahwa efisiensi bisa meningkatkan pendapatan dalam negeri. Tetapi apakah dampak dari efisiensi tidak mengganggu stabilitas ekonomi serta politik negeri ini?
Apa pun keputusan pemerintah, seharusnya tidak mengorbankan kepentingan rakyat yang lebih besar.
Tidak mudah memang. Masalahnya sudah sedemikian pelik. Tetapi jalan keluar tetap harus dilakukan untuk menyelamatkan pertambangan, seperti halnya kasus Inalum ini. Bukan sekadar bagaimana mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya, tetapi juga keberlangsungan bagi kehidupan rakyat Indonesia dalam jangka panjang.
Jangan juga aturan yang dibuat menabrak aturan yang sudah berlaku. Karena hal itu akan merepotkan pemerintah sendiri.
Bagaimana bisa berkonsentrasi mengelola negeri ini, jika kebijakan banyak yang menuai protes sehingga mengganggu stabilitas? Segala aspek harus diperhatikan. Mencapai kemakmuran negeri bukan melulu meningkatkan pendapatan sebesar-besarnya, tetapi juga menciptakan suasana kondusif bagi masyarakat untuk hidup dan berusaha secara wajar dan memberi hasil nyata.