Hari minggu kemaren di Surabaya, saya mengorganisir seminar Resolusi Jihad. Suatu kebetulan dan tidak. Tidak kebetulan bahwa acara tersebut dalam rangka Hari Pahlawan dan kita selenggarakan di Surabaya, kebetulan karena bersamaan dengan eksekusi mati tiga orang pelaku pengeboman. Oleh sebagian peserta seminar, kami dianggap sengaja membuat acara tersebut karena sudah tahu akan ada eksekusi hari itu. Bahkan ada yang menuduh kita ma’rifat. Dan kami lebih memilih bahwa kami ma’rifat daripada kebetulan, hahaha…..
Ditengah perdebatan apakah Amrozi dkk itu teroris atau mujahid dalam seminar tersebut, hati saya sibuk memperdebatkan hal lain : Apakah keluarga amrozi dkk sedih ataukah bahagia?
Hampir semua media -bahkan beberapa media internasional- gencar menyiarkan berita eksekusi dari berbagai sudut, detik per detik, seakan tidak boleh terlewatkan satu detik pun detik-detik terakhir kehidupan sang trio. Penyiaran kabar secara mendetil dan berusaha seobyektif mungkin membuat tayangannya tampil tidak hanya dari satu sudut. Terkadang mereka tampak sebagai teroris, tetapi tidak jarang nampak sebagai pejuang. Begitu juga kabar tentang kondisi keluarganya, suatu saat nampak kesedihan yang mendalam, tetapi gambaran kebahagiaan atas mati syahidnya saudara mereka juga terekam.
Dua kondisi berlawanan bukan milik keluarga Amrozi saja, kita pun sebenarnya sering berada di dua kondisi berlawanan dalam satu kejadian. Pernah suatu hari saya mempunyai niat baik untuk membantu seorang teman dekat, tetapi justru reaksi teman dekat adalah saya telah melakukan hal buruk yang membuatnya marah. Atau lain waktu, saya begitu sedih karena ditinggal seseorang, sangat sedih bahkan rasanya dunia gelap. Ketika ibu saya datang dan berbicara : “tidak kah kamu lihat bahwa ALLAH menolong kamu supaya tidak terjebak dalam kesulitan yang lebih dalam? Beruntung kamu, ALLAH mengulurkan bantuan-NYA di saat yang tepat, membebaskan kamu dari dia dan kamu mendapat banyak pelajaran yang sangat berharga yang tidak semua orang bisa dapatkan.” maka saya harus sedih atau bahagia?
Tanpa disadari, saya berada di dua sisi secara bersamaan. Sedih karena kehilangan orang yang dekat, dan bahagia karena terlepas dari persoalan yang jauh lebih rumit dan menyakitkan. Tetapi seringkali rasa sedih jauh lebih mendominasi, menguasai seluruh hati dan pikiran saya, sehingga dunia terasa runtuh dan kehilangan semua akal sehat. Butuh waktu yang lama untuk bangkit dan kembali kepada akal yang bersih.
Jadi sebenarnya kita harus sedih atau bahagia? Hati dan pikiran adalah milik kita yang paling asasi. Sehingga saya selalu berkeyakinan saya lah penentu kondisi hati dan pikiran saya. Hak saya untuk merasa bahagia atau pun sedih, karena penerima resiko atas pilihan saya adalah saya sendiri. Lalu bagaimana dengan pandangan orang lain? Orang lain selalu ada disekeliling kita, kadang mereka menjadi bahu untuk kita bersandar, kadang menjadi telinga untuk mendengar curahan hati kita, tidak jarang juga uluran tangan mereka membantu kita bangkit. Tetapi bukan mereka yang menjalani.
Saya pun lebih sering terseret arus kesedihan, kekecewaan, kegagalan daripada berusaha untuk memilih rasa bahagia ataupun ikhlas. Pertempuran yang sengit antara rasa positif dan negatif akan selalu terjadi. Siapa juaranya? Sang pemilik hati penentunya. Butuh kekuatan yang luar biasa untuk menjadi pengendali atas hati dan pikiran kita. Karena tidak mudah membebaskan belenggu emosi dan nafsu negatif dari hati dan pikiran kita.
Pilihan yang diambil akan menentukan langkah selanjutnya. Tanpa mengurangi rasa terimakasih atas peran orang lain dalam hidup kita, jadilah pengendali atas hati dan pikiran kita sendiri. Memilih dengan akal yang sehat dan hati yang jernih. Kalau kemudian saya lebih memilih untuk merasa lebih beruntung daripada kecewa karena besar sekali yang harus saya pertaruhkan ketika saya merasa terpuruk dan kecewa. Memilih disisi negatif atas setiap keadaan merupakan investasi yang sangat mahal dan menghancurkan.
Ibu Hajah Tariyem pun berhak memilih, untuk menyimpan bahagia di hati karena anaknya Amrozi dan Ali Gufron telah meninggal dalam keadaan syahid daripada menanam lara karena anak-anaknya adalah teroris. Dan siapa juaranya di hati anda? Malaikat pun tahu siapa yang harus jadi juara.
wow.. inspiratif sekali…
ok aku mau latihan untuk jadi juara terussss :)
@kw : sampeyan memang juara mas! Tidak pernah memenangkan emosi negatif, positif teruuus. KW sang juara!
yang mati biarlah mati. yang hidup, kawin ajah. hehehe
saya sampe harus membacanya lebih dari sekali, tiga kali untuk mudeng..
saya cuman bisa komen…
semoga kita semua selamat dunia akherat
@nothing : hehe, makasih …lagi belajar nulis neh, jadi masih mbingungi ya tulisannya. Mesti belajar nulis lebih giat biar nggak bikin bingung yang mbaca.
Benar hanya Malaikat atau lebih tepatnya Tuhan yang tahu dan manusia itu sendiri yang tahu, pilihan apa yang ia ambil ketika dihadapkan kepada 2 sisi, menanam kebencian atau mengikhlaskan; membela yang benar dengan resiko menjadi kaum marginal atau berada di arus yang sedang hangat dengan resiko memiliki teman sesaat.
Dan karena kita manusia, pada saat kita berpulanglah, baru kita bisa mengetahui berapa Malaikat yang kita menangkan.