“Tidak ada kebenaran mutlak dalam ilmu sosial, apalagi terkait manusia. Teori yang sekarang dianggap benar bisa jadi di kemudian hari salah. Begitu pun apa yang dulu dianggap salah bisa jadi sekarang menjadi benar. Kita belajar dari sejarah, menjadikan pengalaman masa lalu sebagai landasan teori untuk masa depan, dan belum tentu benar atau pun salah.”
– DR. Roby Muhammad, Sosiolog, Ilmuwan Muda, dosen.
Dalam beberapa tahun menjalankan kegiatan Akademi Berbagi, saya menemukan banyak hal, baik itu pengetahuan serta berbagai fakta dampak dari sebuah kegiatan kerelawanan.
Selama ini banyak sekali training atau workshop mengenai leadership, yang memberikan pelatihan bagaimana menjadi pemimpin yang hebat. Berbagai skill dibutuhkan, selain pengalaman serta “jam terbang”. Karena menjadi pemimpin seperti layaknya naik sepeda; untuk menjadi ahli dibutuhkan kayuhan ratusan ribu kilometer. Tidak ada seorang pun yang lahir ceprot bisa jadi pemimpin, anaknya pemimpin hebat sekalipun.
Lalu apa hubungannya dengan kerelawanan yang saya bicarakan di awal?
Pemimpin Zaman Dulu dan Sekarang
Di masa sekarang, saya menemukan bahwa untuk menjadi pemimpin andal, diperlukan kemampuan untuk melayani. Karena pemimpin pada dasarnya adalah memimpin sesama manusia.
Jika zaman dahulu pemimpin adalah orang yang keras, tegas, bahkan galak sehingga bisa “memaksa” dengan berbagai cara agar publik tunduk, patuh, dan mau mengikuti. Di masa kini, pemaksaan dengan kekerasan, ancaman, dan intimidasi tidak berlaku lagi. Kemampuan persuasif, memberikan teladan, dan melayani lebih menyentuh emosi manusia, sehingga mampu menggerakkan massa secara sukarela untuk mengikuti (follower).
Saya pernah menuliskan tentang pemimpin melayani dan dampaknya di sini dan di sini. Saat ini semakin terbukti, orang-orang yang berhasil memengaruhi publik untuk mengikutinya adalah mereka yang punya kemampuan melayani.
Pemimpin Era Kini dengan Kekuatan Melayani
Jokowi, Presiden RI, adalah salah satu contoh seorang pemimpin dengan kekuatan melayani, sehingga rakyat dengan suka cita mengikuti, bahkan membela sepenuh hati dengan jiwa raga. Beliau menunjukkan pemimpin tidak harus selalu di atas. Pemimpin tidak harus menakutkan sehingga orang segan menyalami.
Sebaliknya, justru pemimpin dengan sukacita mendatangi rakyatnya, menyalami, mengajak selfie. Terbukti salah satu materi debat yang diusungnya adalah DILAN (bukan 1991) yaitu Digital Melayani.
Salah satu kunci dalam melayani yang utama adalah kemampuan mendengar. Manusia diberi telinga dua dan mulut satu, dengan maksud lebih banyaklah mendengar daripada berbicara. Sayangnya, lebih banyak manusia yang berlomba-lomba bicara lantang dan jarang mau mendengar. Walaupun klita selalu bisa mendengar tetapi tidak semua orang punya kemampuan “mendengar” yang sesungguhnya.
Bapak Jokowi menunjukkan bahwa kemampuan mendengar itu penting. Beliau bercerita setiap berkunjung ke suatu daerah, selalu turun mendengarkan langsung apa yang menjadi cerita dan keluh kesah rakyatnya. Dari hasil mendengarkan, beberapa keputusan diambil.
Rasanya gampang ya menjadi pemimpin? Tentu tidak, Ferguso! Apalagi di era sekarang. Ketika semua orang bisa berbicara lantang (melalui media sosial) dan didengar banyak orang (dibaca). Butuh orang yang sungguh-sungguh memimpin dengan hati, bisa menyentuh emosi untuk dapat menggerakkan.
Dengan melayani, kita belajar mengasah emosi, empati, dan ikut merasakan kemudian bisa bersikap, bertindak dan membuat langkah yang tepat.
Akademi Berbagi: Melayani dalam Kerelawanan
Nah, hubungannya dengan gerakan kerelawanan adalah dengan menjadi relawan kita belajar melayani, melatih kepekaan emosi, sehingga bisa merasakan (kebutuhan) sesama. Relawan bekerja bukan karena bayaran atau reward, tetapi hatilah yang menggerakkan untuk bekerja bakti. Kepuasannya adalah ketika pekerjaannya berdampak nyata pada kehidupan seseorang.
Lupakan ancaman dan menebar ketakutan untuk bisa mendapatkan simpati masyarakat. Lakukan sesuatu. Bekerjalah untuk mereka. Belajarlah melayani dengan hati. Begitulah Akademi Berbagi.
Selain membuat kelas-kelas gratis rutin di berbagai wilayah di Indonesia, selama hampir tiga tahun ini, kami fokus membuat kurikulum, pelatihan dan mentoring untuk para relawan agar kelak menjadi pemimpin andal. Modal dasarnya sudah ada. Dengan mau menjadi relawan, artinya mereka memiliki hati untuk sesama. Dan selama bekerja menjadi relawan, mereka belajar melayani dan mendengarkan kebutuhan sekitarnya.
Setiap murid yang terbantu dengan ilmu yang di dapat di kelas Akademi Berbagi, itulah ganjaran kerja bakti mereka. Semakin banyak relawan Akademi Berbagi, maka semakin banyak potensial pemimpin akan lahir.
Banyak Bekal Diperlukan untuk Para Relawan Akademi Berbagi
Saya sadar melayani saja tidak cukup, maka ada program khusus untuk menambah skill serta soft skill relawan sehingga benar-benar siap menjadi pemimpin di daerah masing-masing.
Selain pelatihan yang diberikan melalui berbagai workshop, para relawan juga mendapat kesempatan untuk mentoring bersama CEO, para pemimpin bisnis maupun lembaga. Selama kurun waktu tertentu, mereka akan nempel dan bekerja langsung dengan para pemimpin untuk melihat, mengikuti, dan merasakan bagaimana kerja seorang pemimpin.
Saya tahu ini bukan kerja satu dua tahun yang langsung kelihatan hasilnya, tetapi kerja puluhan tahun. Yang penting saya memulai dan bergerak, walaupun dalam skala kecil, untuk membantu melahirkan pemimpin yang bisa melayani dengan hati, menggerakkan emosi manusia untuk diajak melakukan perubahan nyata di daerahnya.
Kegiatan ini walaupun kecil jika dilaksanakan secara konsisten, saya berharap memiliki dampak signifikan dan bisa membantu melahirkan pemimpin lokal yang andal. Bukan pemimpin yang setiap hari ada di media karena tertangkap KPK karena korupsi, tetapi pemimpin yang melayani dengan hati untuk membuat perubahan nyata pada masyarakat.
Inspirasi Para Relawan
Bapak Jokowi menjadi inspirasi. Dari orang biasa bisa menjadi pemimpin negara.
Proses yang dilalui untuk menjadi pemimpin bukan instan tetapi melalui berbagai tahapan. Dari memimpin bisnis kecilnya, kemudian bisnis membesar dan maju sebagai walikota. Dari kotamadya kemudian bergerak menjadi gubernur provinsi, baru kemudian menjadi presiden.
Menjalani proses dan tahapan menjadi penting. Mengalami jatuh bangun adalah kunci untuk mematangkan diri.
Begitu pun para relawan Akademi Berbagi. Menjalankan kegiatan sosial dengan berbagai masalah dan kesulitannya. Jatuh bangun menjaga gerakan supaya tetap hidup dan bermanfaat adalah cara mengasah kematangan diri.
Pada akhirnya kemampuan mendengar dan melayani menjadi kekuatan untuk menjadi pemimpin di mana pun, dan pemimpin apa pun.
Jangan berkecil hati karena merasa orang biasa atau asal dari kampung. Jokowi adalah contoh nyata. Siapa pun bisa menjadi pemimpin asal mau bekerja keras, melayani dan mau mendengar.