Teman saya bertanya, “Apa saya seorang playboy?”. Aku jawab spontan, iya! Dan marahlah sang teman. “Saya memang banyak terlibat dengan perempuan, tapi saya tidak playboy. Saya tidak main-main dengan mereka.” Nah kenapa tanya ya?

Hal-hal tersebut sering terjadi dalam obrolan saya dengan teman-teman saya. Mereka minta pendapata atau bertanya tentang mereka sendiri, tetapi tidak siap apabila jawabannya negatif atau mengiyakan prasangka buruk mereka.

Saya pernah baca sebuah tulisan di milis yang saya lupa siapa penulisnya atau tidak dicantumkan di milis tersebut, bahwa kita sebenarnya tidak membutuhkan kritikan, dan tidak siap dengan kritikan. Karena pada dasarnya budaya kita (terutama Jawa) memang tidak terbuka seperti layaknya orang Barat. Bahkan kita lebih sering diajarkan untuk merendahkan diri, melihat kekurangan diri lebih sering daripada melihat kebaikan diri. Budaya pendidikan seperti itu sudah turun temurun terutama di suku Jawa.

Kritik sebenarnya untuk pengingat diri, untuk koreksi diri supaya tidak tinggi hati dan merasa paling benar. Sedang kita sudah sering diajarkan untuk tidak boleh tinggi hati, bahkan mendapat pujian saja kita malu, karena menerima pujian dengan terbuka dianggap tinggi hati. Kritik yang seharusnya menjadi alat koreksi diri, buat kita kebanyakan malah menjadikan kita semakin terpuruk. Karena pada dasarnya kita menyadari kekurangan kita , kemudian ada pihak lain yang menegaskan kembali terasa seperti sudah jatuh keinjek pula. Dan ketidakterbukaan kita juga memicu rasa minder, sehingga kalau ada orang secara terbuka mengkritik di depan kita apalagi di depan umum bukan memacu kita untuk lebih baik lagi tetapi justru membuat kita semakin terpuruk.

Jadi perlukah kritik? Menurut saya pribadi, kita harus melihat siapa yang kita kritik. Kalau orangnya cukup terbuka bolehlah kita mengkritik. Dan sebaiknya tidak dengan bahasa frontal, tetap saja dengan bahasa yang baik, bagaimanapun kita sejak kecil diajarkan untuk berbicara dengan tata krama unggah ungguh. Dan janganlah di depan umum, karena banyak dari kita masih malu jika dibicarakan didepan umum. Tetapi kalau dengan teman dekat, mungkin bisa lebih leluasa menyampaikan kritik walaupun tetap harus diperhatikan ketahanan mental teman kita terhadap kritik.

Berarti kita tidak sportif dong? Mungkin iya, budaya defensif kita masih lebih banyak daripada budaya menerima kesalahan dengan terbuka. Bukan berarti defensif itu baik, tetapi kalau kritikan kita membuat orang yang dikritik menjadi terpuruk bukannya semangat untuk memperbaiki diri, saya lebih memilih tidak mengkritik. Karena mungkin saya juga seperti mereka yang suka terpuruk mendengar kritikan. Dan saya pun harus belajar untuk menerima apapun omongan atau kritikan secara proporsional. Menjadi semakin minder bukan tujuan kita mengkritik bukan?

Apa beda mengkritik dengan menjatuhkan. Nah! Gimana dong membedakan kritikan dan perkataan yang menjatuhkan? Batasannya sangat tipis dan saya juga tidak tahu bedanya. Daripada kita sibuk memikirkan mereka mengkritik untuk kebaikan atau dengan sengaja menjatuhkan, lebih baik kita menjaga hati kita sendiri. Tidak perlu berprasangka buruk, anggap semua perkataannya baik atau buruk adalah sarana untuk kita lebih bijaksana. Apakah bisa? Memang tidak mudah, kita harus berusaha secara terus menerus untuk memberikan “makanan” yang positif untuk pikiran kita . Seperti kata orang bijak, kebahagiaan ada di dalam diri bukan diluar. Jadi jangan terlalu dimasukan ke hati jika ada perkataan buruk tentang kita. Jadikan sebagai semangat untuk berkarya lebih baik lagi. Dan bahagia milik kita semua.

Salam buat teman saya yang tidak mau dikatakan playboy. Maafkan saya, kadang karena kita dekat saya kurang bisa menjaga perkataan saya.

Tinggalkan Balasan