Kalau bicara tentang perilaku dalam pergaulan, aku sering dikira orang yang supel, mudah bergaul dan bisa masuk dalam kelompok sosial mana pun. Padahal sejujurnya, aku selalu kikuk untuk masuk dalam lingkungan baru. Bingung harus mendekati siapa, harus memulai percakapan seperti apa dan bagaimana harus bersikap. Butuh waktu yang tidak cepat untuk beradaptasi.
Apalagi dalam posisi pekerjaan, sebagai leader aku harus cukup tegas dan sesekali keras dalam menjalankan sesuatu. Hal itu membuat aku dianggap orang yang jutek, dan galak. Hahahaa….Mungkin kalau ini soal “casing” atau tampilan yang memang menampakkan kejutekan.
Sejatinya aku orang yang tidak suka berkonflik dan cinta damai. Selalu berusaha baik pada semua orang sehingga sering kali makan hati sendiri. Dulu kalau berbuat baik dengan orang kemudian dikecewakan, rasanya dunia runtuh.
Tertantang untuk Lampaui Batas
Seiring berjalannya waktu dan semakin umur, aku bisa lampaui batas kekecewaan dengan terus belajar untuk tidak berharap balasan atas kebaikan. Lakukan dan lupakan.
Begitu juga dalam urusan pertikaian. Selalu terbebani hingga waktu lama jika ada perselisihan atau pertengkaran dengan siapa pun, baik saudara atau pun teman.
Kalau masih bisa didiskusikan untuk dibicarakan, aku lebih memilih membicarakan baik-baik. Karena, pertikaian dalam bentuk apa pun selalu menyisakan luka bagi kedua belah pihak. Dan biasanya lukaku sangat dalam hingga bertahun-tahun. Lagi-lagi aku harus belajar berdamai dengan diri sendiri.
Lampaui batas emosi dan meletakkan nalar dan hati di atasnya.
Lampaui Batas Bersama Akademi Berbagi
Hal yang sama ketika aku menjalankan gerakan Akademi Berbagi. Memimpin organisasi berbasis volunteer (sukarelawan) dari berbagai latar belakang yang berbeda baik suku, agama, geografis dan gaya pergaulan tidaklah mudah. Kadang harus lentur, kadang harus sangat keras.
Di kalangan, para volunteer dan orang-orang yang ikut kegiatan, mungkin aku dianggap orang yang galak dan susah diajak ngomong. Ada beberapa orang yang, bahkan untuk mengajak salaman saja takut. Hal ini tidak pernah aku sadari, sampai suatu peristiwa terjadi.
Aku dan Muka Kusutku
Dalam suatu acara di daerah, aku harus menjadi pembicara. Kebetulan Akademi Berbagi menjadi salah satu pihak penyelenggara kegiatan.
Hari itu suasana batinku lagi gak karu-karuan. Mengejar pesawat paling pagi yang berarti kurang tidur. Aku adalah orang yang gak bisa kekurangan tidur, bisa crangki hahaha… Biasanya kalau ada penerbangan pagi, aku bakal tidur cepat, supaya asupan tidurnya cukup.
Tetapi malamnya banyak urusan yang harus diselesaikan. Meeting kantor yang berakhir cukup malam dan mendadak anak telepon ada tugas yang harus dicetak di snappy malam itu juga. Ketika sampai rumah mau mengambil tugas anak yang mau dicetak, ternyata belum siap. Anak malah cekikikan sama temannya di video call. Rasanya mau meledakan kemarahan. Alhasil urusan di snappy baru kelar jam 12 malam lebih.
Karena mengejar pesawat pagi, jam 3 sudah harus ready dijemput taksi yang akan membawa ke bandara. Dalam kondisi kurang tidur, dengan membawa hati tak karuan karena sisa marah semalam sekaligus sedih karena ninggalin anak dalam kondisi marah.
Kebayang kan suasana hatiku? Kayak acar tumpah di tanah, berantakan! Tanpa aku sadari muka kusut terus tercetak hingga di lokasi acara. Sambil menunggu waktunya naik panggung, aku duduk diam di salah satu ruangan, sambil berusaha menata hati dan isi kepala. Tak tampak satu orang relawan pun yang mendekat. Hanya panitia bagian acara yang sesekali mendekati dan mendiskusikan beberapa hal.
Hingga menjelang naik panggung, tiba-tiba ada satu relawan yang berjalan mendekat dengan muka takut-takut. Aku berusaha tersenyum dan mungkin gagal. Karena muka relawan itu semakin kecut. Aku pun mengulurkan tangan untuk bersalaman. Dia kaget banget melihat uluran tanganku, dengan panik dia menggosok-gosokan tangannya sebelum menerima ajakan salaman.
Begitu akhirnya kami bersalaman, rasanya seperti menggenggam es! Tangannya dingin sekali dan gemetaran. Duh, aku pun merasa bersalah.
Untuk mencairkan suasana, aku berusaha mengajak ngobrol. Ternyata dia mau menyampaikan maksud. Salah satu relawan hari itu berulang tahun, dan ingin sekali aku memberikan ucapan kepadanya di akhir acara. Dengan senang hati aku mengabulkan permintaannya. Toh hanya mengucapkan selamat. Lalu aku janjikan bakal aku sampaikan usai mengisi acara. Relawan itu pun berlalu sambil kegirangan. Tetapi masih tampak ketakutan, karena terlihat dari caranya jalan yang bergegas meninggalkan ruangan.
Surprise yang Sukses
Oke, aku sudah membuat orang takut, bahkan mungkin banyak orang. Dan aku gak biasa memulai percakapan dengan baik ketika suasana hati gak karuan. Biasanya aku memilih diam daripada nanti mengacaukan. Tapi karena ada permintaan khusus, dan apa salahnya menyenangkan hati orang maka aku pun terpikir untuk melakukan sesuatu.
Bongkar-bongkar isi tas, masih nemu buku yang aku tulis. Biasanya memang aku membawa jika bepergian keluar kota. Aku panggil panitia dan meminta sesuatu. Dan ternyata panitia bisa mewujudkannya. Oke done!
Aku pun berjalan ke atas panggung, mengisi acara di hadapan lebh dari 500 orang. Acara yang cukup besar untuk ukuran kota tersebut. Selesai bicara, seperti biasa diisi dengan tanya jawab. Ternyata cukup banyak yang bertanya. Hingga menjelang akhir sesi, aku bilang ke moderator bahwa aku tidak menerima pertanyaan lagi, tapi aku mau menyampaikan sesuatu.
Sambil berdiri di atas panggung, aku pun memanggil nama relawan yang berulang tahun untuk naik ke atas. Mukanya sangat cemas. Sambil jalan menuju panggung, dia bolak-balik menengok ke teman-temannya. Dia gak tau apa-apa dan gelisah ketika naik ke panggung. Ah..kasihan juga liatnya.
Sampai di panggung dia berdiri gemetaran. Aku pun bertanya, “Tahukah kamu kenapa aku panggil?” Dia menggeleng sambil terus menundukan muka. Dari belakang para panitia tiba-tiba muncul sambil membawakan kue ulang tahun. Kemudian serentak satu gedung pun bernyanyi sambil bertepuk tangan.
Relawan itu kaget luar biasa. Matanya terbelalak dan bicaranya terbata-bata dan akhirnya pecah tangisannya. Aku pun menyalami sambil menyerahkan kue yang tadi aku minta sama panitia sebelum acara.
Bolak-balik si relawan bilang masih tidak percaya. Digenggam tanganku kuat-kuat. Sama seperti temannya, tangannya sedingin es. Hingga akhirnya aku keluarkan bukuku dan aku serahkan sebagai hadiah. Kaget karena tiba-tiba dia lompat memelukku erat sambil beruraian air mata. Katanya seumur hidup belum pernah mendapatkan kue ulang tahun, apalagi dinyanyikan oleh ratusan orang. Aku peluk balik tanpa bicara apa-apa. Pelukanku sudah menyampaikan banyak hal.
Bawa Kebahagiaan untuk Orang Lain Adalah Hal yang Lampaui Batas
Sore itu aku terbang kembali ke Jakarta. Acara telah usai. Ketika sampai bandara, sambil menunggu waktu boarding aku membuka email. Ternyata ada kiriman dari relawan yang berulang tahun. Dia pun menuliskan:
“Terima kasih, Ibu, atas kejutannya. Saya benar-benar gak nyangka. Bisa salaman sama Ibu saja sudah kayak ngimpi, apalagi diajak ke atas panggung dan mendapatkan kue ulang tahun yang pertama seumur hidup saya dan dapat hadiah pula. Terima kasih atas bukunya, saya akan simpan terus. Apalagi pesan yang Ibu tulis di situ. Pas banget dan sangat berarti. Duh, saya masih gak percaya. Tangan saya masih dingin dan air mata masih mengalir terus ketika menulis email ini. Terima kasih, Ibu. Ternyata Ibu tidak segalak yang saya pikir.”
Antara mau tertawa dan menangis. Sesungguhnya bukan hal besar yang aku lakukan, tetapi ternyata kebahagiaannya lampaui batas yang orang lain pikirkan. Terima kasih ya, kamu sudah membuat hariku sangat berarti. Aku pun bisa lampaui batas diriku untuk menundukkan emosiku.
Mau tau gak apa yang aku tulis di buku itu? Karena konon tulisannya beneran menampar sang relawan yang berulang tahun. Mungkin juga menampar diriku juga sih.
“You are worth more than you think.“
One Reply to “Lampaui Batas, Bahagiakan Sesama”