Entah sejak kapan, seperti sebuah keharusan agar disebut masyarakat kekinian, jalan-jalan atau traveling menjadi kebutuhan pokok, setelah papan-sandang-pangan-gadget-wifi. Semua orang berlomba-lomba memposting perjalanannya, baik lokal maupun interlokal internasional, baik saat liburan panjang maupun sekadar long weekend. Postingannya pun beragam, dari makanan, hotel, OOTD atau baju piknik hingga boarding pass.
Kurang Piknik = Sakit Jiwa?
Sekarang pun sudah jamak terdengar, kalau ada orang yang melakukan tindakan gak bener atau galau gak kelar-kelar, langsung dapat tuduhan “kurang piknik”. Entah sejak kapan juga kurang piknik menyebabkan berbagai gejala penyakit termasuk kejiwaan.
Begitulah piknik di era sekarang, menjadi sangat krusial. Bukan hanya berdampak pada kebahagiaan tetapi juga kesehatan jasmani. Konon yang sering piknik, fisik jarang sakit-sakitan dan wajah berseri berkilauan.
Saya, sebagai masyarakat kekinian, tentu saja mengamini dan (berusaha) mengikuti faham di atas. Setiap long weekend atau libur anak sekolah, ikut panik mencari tiket, mencari tujuan liburan dan menghitung tabungan. Kalau kurang, ngecek jatah limit kartu kredit, sudah mentok belum. Apa jadinya long weekend tanpa piknik? Bisa garing dan dicap manusia purba nih!
Begitulah piknik demi piknik dijalankan. Walaupun piknik saya mentok-mentok mudik ke kampung halaman. Eh, jangan salah. Liburan di kampung juga termasuk budaya kekinian. Membawa anak liburan ke desa, dekat dengan alam. Main di sawah, nyebur ke kali, liat kunang-kunang jadi cerita yang eksotis, kan. Walaupun kata anak saya sudah biasa liat sawah, kerbau, kunang-kunang. Ya iyalah sejak bayi tiap liburan pasti pulang ke kampung halaman hahaha…
Long Weekend = Piknik!
Beberapa minggu lalu, ada tanggal merah berderet, yang artinya long weekend, cuuuy! Waah, harus piknik nih! Gak bisa tidak.
Beberapa kali browsing tiket dan hotel, tetapi gak pernah tuntas. Lagi asyik browsing, eh dipanggil meeting. Browsing lagi, eh ada deadline kerjaan dadakan. Sampai rumah, niat mau browsing tinggal angan, karena keburu dihajar kantuk dan terkapar kelelahan. Belum lagi urusan jadwal anak. Dia punya banyak rencana sama teman-temannya, yang gak jelas juga mau ngapain dan kapan.
Duh biyung piye iki?
Long weekend semakin dekat, sedangkan tiket pesawat dan hotel belum ada yang berhasil di-booking. Masak iya long weekend “cengok” di rumah aja? Apa kata dunia? Bagaimana materi postingan social media saya?
Sementara di Facebook dan Path mulai lalu lalang foto tiket, itinerary, hingga hotel dan pantai yang akan dikunjungi. Saya masih kebingungan, gak tau mau ke mana.
Kenapa Harus Piknik di Long Weekend?
Dua hari sebelum long weekend, saya ngobrol berdua dengan anak untuk membahas liburan mau ke mana. Singapore? Bali? Belitung? Kampung halaman di Salatiga? Tidak ada kesepakatan mau ke mana.
Hingga kemudian anak saya berkata, “Sekali-kalilah, Buk, kita liburan di rumah. Ibuk sibuk, aku sibuk, jadi liburan ini bisa istirahat. Di rumah gak ngapa-ngapain kan enak juga. Nanti kalau bosen kita makan di restoran atau ke mal mana gitu”.
Malam itu, ketika anak sudah terlelap usai ngobrol, saya pun merenung sendirian.
Iya ya, kenapa saya merasa “harus” piknik di long weekend? Emang kenapa kalau gak piknik? Apa iya kemudian jadi gak waras atau tiba-tiba jadi manusia purbakala?
Saya pun memutuskan untuk mengikuti anak, liburan di rumah saja. Selain ngirit, ini sudah pasti, juga mengistirahatkan badan dan pikiran. Main berdua sama anak, bakal tidur sampai siang atau nonton tv dan baca buku tanpa perlu mandi seharian.
Long weekend pun tiba. Postingan teman-teman “check in di Soekarno Hatta”- “Bismillah memulai roadtrip”- “check in di Gambir” sudah berhamburan sejak subuh. Sempat terbesit rasa iri karena tidak bisa melakukan posting sejenis. Duh, bakal gak ada postingan yang layak tampil nih di social media.
Sesuai dengan obrolan, kami pun liburan dengan goler-goler di rumah. Sore baru jalan ke resto mencari makan. Besoknya lagi ikutan yoga dan lanjut jalan-jalan ke mal sama anak dan ponakan. Masih ada satu hari lagi liburan dan sepenuhnya dihabiskan di rumah tanpa pergi ke mana pun.
Benar-benar 3 hari bersantai, cuma pergi ke mal dan lebih banyak diam di rumah.
Ternyata saya baik-baik saja. Hidup saya masih normal, tidak ada gangguan kejiwaan. Malah lebih sehat karena bisa ikutan yoga. Saya pun tetap happy, begitu juga si anak. Gak ada yang kurang. Oh, mungkin postingan social media aja sih kurang kekinian.
Tapi selebihnya, kami baik, sehat dan gembira. Jadi long weekend harus piknik keluar kota itu mitos, sodara-sodara! Dan cash flow saya terselamatkan. Puji syukur.
idem koq mbak. damai rasanya di rumah saja
Aku pun sekarang (karena harus berdasarkan kesepakatan dengan suami juga lah) jadi banyak weekend-weekend maunya di rumah saja, istirahat, delivery makanan, dan main game.. hahaha :D
Kalau aku pas long weekend kemaren ke puncak mbak, tapi weekend biasa bisa gegoleran di rumah seharian justru sebuah kemewahan karena banyak acara keluarga. okesip.
Long wiken itu justru paling enak glundang-glundung sekeluarga di depan tv sampe tidur, bangun lagi, tidur lagi.. Mandinya nanti-nanti.
#magerunite
setuju…dimanapun dengan siapapun yang penting happy yuu…
YBS… mau dong blog ku didandanin jugaaa *teriak*
#nebeng yuuu
Boleh mbak Eny. Japri ya ke basibanget at gmail..
“Jadi long weekend harus piknik keluar kota itu mitos sodara-sodara! Dan cash flow saya terselamatkan. Puji syukur.”
Second that!
Setujuuuu.. Lagian lebih enak liburan saat orang lain kerja #eh X))
Selamat mbakkkk, celengan srmar tidak jadi di bedah, heuheu.
http://notedcupu.com/2016/03/03/kepada-seseorang-yang-merantau-ke-kota/
Main main ke blog’ ku mbak, nun, barang kali sukak. Heuheu
wah mba, postingannya suara hati bgt deh
terima kasih banyak :)