photo from http://2.bp.blogspot.com
photo from http://2.bp.blogspot.com

Lebaran sudah lama berlalu. Hari Raya di mana orang saling menyampaikan kata maaf, baik secara langsung dengan berbondong-bondong menuju kampung halaman menemui keluarga dan orang dekat. Atau melalui telepon, SMS, email, chatting maupun social media. Puasa satu bulan harus digenapkan dengan meminta maaf langsung kepada sesama manusia. Karena dosa kepada manusia tidak ada cara lain kecuali meminta maaf. Tidak bisa bisa diwakili oleh Tuhan.

Ucapan maaf pun bertebaran, numpuk di handphone. Ada yang copas (copy paste) untaian indah kata maaf dan lupa menghapus nama pengirimnya dan mengirim secara serentak ke semua daftar nama di phone book. Ada yang mengirimkan satu per satu, dengan ucapan secara personal. Walaupun ada pro dan kontra, teknologi membuat pilihan semakin banyak untuk menyampaikan maaf. Karena jarak, kesibukan, waktu dan uang tidak memungkinkan kita bertemu langsung semuanya.

Di saat Lebaran, meminta maaf terasa lebih mudah, aku pun memanfaatkan momen tersebut dan berusaha dengan ikhlas meminta maaf kepada keluarga dan teman. Sudah pasti banyak kesalahan terjadi, baik disengaja, bercandaan atau gak sadar.. Dan aku pun berusaha memaafkan kesalahan mereka dengan tulus. Walaupun beberapa orang yang “menyakiti” ku tidak menyampaikan permintaan maafnya, aku tetap memaafkan. Karena memaafkan itu melegakan. Melepas beban yang selama ini bergelayut.

Tetapi apakah semua benar-benar termaafkan? Ternyata masih tersisa satu maaf yang sulit sekali diminta dan diberikan. Yaitu, memaafkan diri sendiri. Entah kenapa ternyata memaafkan diri sendiri jauh lebih berat. Kegagalan dan kesalahan yang aku perbuat menyisakan beban yang terus bergelayut. Hingga bulan Syawal sudah berlalu, dan bulan baru sudah tiba, maaf itu belum juga terselesaikan. Entah sampai kapan.

Menyalahkan diri sendiri atas setiap hal buruk yang terjadi, menjadi penyakit yang terus menjangkitiku. Sejak kecil, entah dari mana asalnya, punya keyakinan lebih baik menyalahkan diri sendiri daripada orang lain. Ternyata sama buruknya. Aku jadi memiliki kecemasan dan kekuatiran berlebih karena rasa salah yang terus ada di dalam diri. Di luar semua terasa baik-baik saja, padahal di dalam ada yang berkecamuk tak terselesaikan menyertai langkah setiap hari. Entah akan sampai kapan. Dalam hening malam, permintaanku kepada Tuhan, bantu aku ya Allah untuk memaafkan. Jangan sampai Lebaran lagi dan aku belum memaafkan diriku sendiri.

 

Jakarta, bulan Syawal pun sudah berlalu.

Tinggalkan Balasan