Dalam setiap tugas mengisi seminar, training, workshop tentang #digitalparenting, saya lebih sering menggunakan istilah: mendampingi anak. Bukan mendidik, mengawasi atau mengajar. Kenapa?
Mari kita urai satu per satu kenapa istilah “mendampingi anak” ini lebih tepat
1. Zaman sudah berbeda
Saya dan para orangtua lain kebanyakan adalah produk analog, alias digital imigrant. Ketika lahir sampai dengan masa sekolah belum terpapar teknologi maupun internet secara masif. Sehingga teknologi adalah “barang” asing dan susah untuk dipelajari.
Sebaliknya, anak kita adalah digital native, yang lahir ceprot udah ketemu laptop, smartphone, tablet, dan ipad. Mereka adalah produk asli digital. Jadi wajar kalau anak lebih familier dengan teknologi daripada orangtuanya yang masih tergagap-gagap.
2. Karena alasan pertama, orang tua harus belajar dan terus update pengetahuannya untuk paham bagaimana dunia digital bekerja
Karena anak-anaknya adalah produk digital, di mana kesehariannya sangat bergantung pada teknologi, baik untuk mencari informasi, belajar, bermain, berteman, belanja, dan beli makanan atau mencari transportasi.
Sebagai orang tua tentu saja harus paham “dunia anak” supaya bisa membantu dan mendidik dengan baik sesuai zamannya. Ingat zaman tidak pernah mundur ke belakang. Orang tua yang harus menyesuaikan dengan zaman sekarang.
Untuk itu orang tua bisa belajarnya bareng sama anak. Gak usah malu. Orang tua sekarang harus mampu rendah hati karena anak pun bisa jadi guru. Seperti semboyan gerakan Ibu Najelaa Shihab, pendiri sekolah Cikal dan pakar pendidikan: Semua Murid Semua Guru.
3. Teknologi berkembang sangat cepat
Bayangkan telepon rumah butuh 75 tahun untuk mendapatkan 50 juta pengguna, radio butuh 38 tahun untuk mendapatkan 50 juta pengguna, televisi butuh 13 tahun.
Bagaimana dengan internet? Hanya butuh 4 tahun untuk mendapatkan 50 juta pengguna. Facebook hanya butuh 3,5 tahun, Iphone hanya 2,9 tahun, dan Pokemon-Go hanya butuh 10 HARI untuk mendapatkan 50 juta pengguna.
Sebagai orang tua harus terus belajar dan update segala perubahannya jika tidak mau tergerus oleh zaman.
4. Anak sekarang mudah mengakses informasi dan pengetahuan melalui teknologi
Pikirannya lebih terbuka, pergaulannya lebih luas. Mereka lebih susah diperintah, apalagi pengasuhan model doktrinasi.
Dia bisa “lepas“. Dan lepas di zaman digital bisa beneran lepas. Kita tidak bisa memahami sama sekali kebutuhan anak untuk tumbuh dan berkembang secara baik dan wajar. Mereka bahkan sudah bisa cari duit sendiri dari usia muda, Kebayang kan seberapa jauh “lepas“-nya? Mereka akan tumbuh tanpa nilai dan prinsip yang seharusnya dimiliki.
Hidup bukan hanya soal bagaimana berkarier atau mencari uang, tetapi lebih dari itu. Anak harus tumbuh dengan nilai dan ajaran positif baik, untuk fisik maupun mentalnya. Ini tidak bisa diperoleh hanya dari teknologi atau belajar akademis.
Saling Belajar Antara Orang Tua dan Anak
Dari poin-poin di atas, menurut saya, pola asuh mendampingi anak akan lebih tepat. Berdampingan dengan penuh kasih sayang untuk saling belajar. Orang tua mengajarkan nilai-nilai hidup, prinsip keluarga, ajaran agama, sikap dan perilaku, empati dan simpati, serta mengelola perasaan dan emosi.
Anak-anak bisa mengajari soal teknologi, perkembangan pergaulan, kebutuhan, dan tekanan hidup serta kompetisi yang mereka alami yang sudah tentu berbeda dengan zaman orang tuanya. Saling memahami kebutuhan satu dengan yang lain.
Untuk itu, butuh keluasan hati dan rendah hati menjadi orang tua zaman sekarang. Lebih banyak mendengar dan berempati. Walaupun untuk hal-hal prinsip harus diajarkan secara terus menerus dan berulang-ulang. Kalau kata anak saya,”Ibuk kayak kaset rusak, ngomong itu-itu melulu dan bisa ditebak.” Hahaha.
Mendampingi anak bukan berarti memanjakan dan segala hal di-iya-kan. Disiplin harus tetap diajarkan dan dilatih terus menerus. Anak-anak belum paham nilai dan prinsip menjalani kehidupan. Mereka mungkin canggih dalam penguasaan teknologi, tetapi gagap dalam menentukan benar salah, patut tidak patut. Mereka belum tahu bagaimana mengelola emosi, mengatur perasaan, menetukan sikap ketika berhadapan dengan besarnya tantangan dalam hidupnya baik di online maupun offline.
Orang tua yang lebih tahu bagaimana menjalani hidup sehingga bisa selamat sampai tujuan, menjaga dari godaan dan gangguan, bisa memilih mana yang benar dan soft skill lainnya. Ketegasan dan konsistensi orang tua tetap diperlukan, supaya anak tidak kebingungan.
Jaga perilaku dan disiplin mulai dari diri sendiri sebagai orangtua. Karena anak lebih mudah “mencontoh kelakuan” orang tua daripada seribu omelan dan aturan.
Kalau kita sebagai orang tua ingin anaknya melakukan posting yang baik dan mengurangi selfie di media sosial, sudahkah kita melakukan hal yang sama? Mari instropeksi diri.