Karena gak punya fotonya mas Imam, adanya yang ini. Berlima. Foto by Nico Wijaya
Karena gak punya fotonya mas Imam, adanya yang ini. Berlima. Foto by Nico Wijaya

Kalo ngomongin LLD, aku selalu  ingat pria ini. Seorang lelaki matang, salah satu relawan dan mantan kepala sekolah yang menjadi idola cewe-cewe relawan. Bahkan ada cowo yang juga naksir dia lo. Pertama kali ketemu, di sebuah resto di depan taman Ayodya Bintaro. Secara khusus, dia datang ke Jakarta menemuiku, untuk membuka Akademi Berbagi di kotanya.

Kesungguhannya membangun Akademi Berbagi ditunjukkan dengan membuat kelas perdana secara unik dan menjadi perbincangan. 3 orang guru termasuk aku berangkat ke kota tersebut, dan kelasnya bukan hanya di ruangan tapi juga berkeliling naik bus tingkat. Media kemudian melihat itu dan menuliskan tentang Akademi Berbagi. Yang juga unik, para pengurus awalnya adalah 4 Bapak pemilik bisnis, dan 1 orang pemuda. Mereka tidak main-main dan bener-bener ingin Akademi Berbagi berjalan secara konsisten dan memberikan kontribusi bagi masyarakat. Dan sekarang mereka sudah memiliki banyak relawan anak muda dan Akademi Berbagi pun berkembang cukup baik di kotanya.

Waktu menyelenggarakan LLD II, dialah yang sangat berjasa. Kepadanya aku selalu menumpahkan kegelisahan dan kesulitan. Mungkin dia sudah sangat bosen mendengarkan, tetapi tidak pernah ada keluhan keluar dari mulutnya. Walaupun susah ketemu, karena masing-masing dari kami sangat sibuk, tetapi aku selalu mengontak via telepon. Usaha untuk bertemu beberapa kali gagal, mungkin hanya sempat bertemu 3 kali saja sampai kemudian LLD terjadi. Salah satu pertemuannya, yang kami usahakan banget terjadi H-3 sebelum LLD. Setiap jam kami saling update posisi dan kegiatannya untuk mencuri-curi waktu bertemu. Hingga akhirnya pertemuan benar-benar terjadi jam 7 malam.

Kami duduk di sebuah coffee shop di Pondok Indah. Aku gelisah setengah mati. Kemudian dia pun berkata, “Wes mba, yakina mengko ana dalane. Tak ewangi, ra sah kuatir. LLD mesti isa mlaku. Percayalah.” Kalimat itu yang terucap berulang-ulang karena dia bisa membaca kegelisahanku. Kami pun berdua menghitung ulang dan memastikan jalan keluarnya. Dengan gayanya yang tenang, dia membantuku mengurai masalah satu per satu.

Malam itu diakhiri dengan dia menepuk pundakku, “Wes yo mbak, kita ketemu di Salatiga. LLD pasti berjalan lancar. Nanti aku susul.” Aku pun berangkat ke Salatiga dengan perasaan jauh lebih tenang.

Hingga hari H aku masih lari ke sana ke mari untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Dan dia pun juga di suatu tempat yang lain ikut mengusahakan segala sesuatunya terlaksana. Badannya belum muncul di lokasi, tapi aku tahu dia juga sedang bekerja untuk kesuksesan LLD.

Malam hari kedua dia baru muncul di lokasi. “Akhirnya terjadi juga kan? Aku percaya LLD bisa jalan. Sukses ya mba” obrolan pertama ketika kami bertemu. Disela kesibukannya dia menyempatkan datang sebentar untuk memastikan semua berjalan lancar.

Sosok yang tidak banyak nongol di acara LLD dan mungkin gak banyak yang tahu peran pentingnya di LLD, tapi dia sangat berkontribusi besar atas suksesnya acara. Dia lah Mas Imam, yang selalu berhasil menenangkan kegelisahanku dan tanpa gembar-gembor dia membantu sekuat tenaga agar LLD terlaksana.

Untuk dia yang selalu berdiri di sisiku, menguatkan dan mendukungku : Terimakasih yang sebesar-besarnya dan salam hormat untuk mantan kepsek dan relawan Akber Solo: Mas Imam Subchan.

 

 

 

7 Replies to “Mas Imam”

  1. pake foto ben tambah akeh sing naksir mas Imam hahahaha..

    salah satu akberian idolaku. soal e mas Imam iki enak diajak ngobrol lan bersemangat. inspiratif!

  2. mbak, tolong LLD berikutnya stok cowok kecengable dan husband material ditambah ya #eeeeaaaa
    etapi harusnya next LLD udah bawa pasangan kali yak? ;D

Tinggalkan Balasan