Apa sih flexing itu? Kenapa akhir-akhir ini banyak orang menyebut flexing? Flexing itu pamer. Orang menunjukkan kekayaan secara berlebihan. Dari zaman dulu juga sudah ada orang yang demen pamer. Cuma sekarang media sosial memberikan wadah untuk pamer dengan gampang.
Flexing adalah teknik persuasi paling halus
Tujuan orang pamer kekayaan itu biasanya untuk menunjukkan eksistensi diri, pencapaian dan rasa bangga karena sudah sampai di titik yang tinggi dalam hal ini dari gak punya menjadi kaya raya. Celakanya pamer harta di zaman media sosial ini belum tentu kaya sesungguhnya, alias bokis. Mereka pamer untuk menyakinkan khalayak supaya mudah berjualan. Dari jualan produk, motivasi hingga investasi yang seringkali justru bodong.
Kita lebih mudah dipengaruhi dengan kekayaan daripada kedalaman ilmu dan pengalaman seseorang. Karena kaya itu fisik dan langsung terlihat. Apalagi di media sosial. Naik privat jet, punya ferari atau lamborghini, bagi-bagi uang jutaan di jalanan dan beli tas branded setiap bangun tidur. Celakanya banyak yang menyukai konten seperti itu. Karena kita dibawa ke alam mimpi, sejenak melupakan pahitnya hidup yang banyak hutang dan tagihan.
Pamer harta itu salah satu cara mempengaruhi paling halus. Kita lebih mudah percaya karena kekayaan yang mereka tampilkan. Selain menimbulkan iri dengki yang ini bisa berlanjut menjadi toxic, kita pun lebih mudah dibujuk oleh mereka. Apakah mereka pamer kekayaan hanya sekedar pamer atau punya tujuan lain?
Saat ini, menjadi kaya di media sosial sangatlah mudah. Karena semua bisa disewa per jam bahkan bisa disewa rame-rame sehingga bayarnya lebih murah. Yang penting kan ambil foto dan video dengan atribut kemewahan. Apakah itu memang milik mereka atau nyewa, netizen tidak ambil pusing. Kita pun susah sekali membedakan mana yang beneran kaya dan mana yang cuma nampak kaya.
Kaya bukan satu-satunya ukuran sukses
Kita perlu hati-hati dan waspada, ada apa dibalik usaha mereka memamerkan kekayaannya. Bujukan mereka melalui pamer kekayaan itu bisa membuat kita nurut aja. Nah kalau sudah begitu, mereka jualan apa saja kita ikuti. Janji manis akan bisa kaya seperti mereka dalam waktu singkat menjadi bius yang dahsyat. Sehingga kita pun langsung “membeli” jualan mereka. Kemudian terjebaklah pada investasi bodong atau reseller barang abal-abal. Padahal jangan-jangan mereka kaya dari uang yang anda investasikan, wahai para netizen. Bukan cepat kaya yang ada cepat menderita.
Efek lain dari flexing di media sosial adalah konten toxic alias beracun. Orang berlomba-lomba ingin kaya seperti mereka. Tanpa mau mengerti bahwa segala hal dalam hidup ini membutuhkan proses, kerja keras dan doa. Berlimpah materi menjadi ukuran sukses satu-satunya. Padahal banyak hal yang menjadikan orang itu sukses. tetapi apalah artinya punya ilmu tinggi tapi tidak kuat beli ferari. Pencapaian kehidupan pun dikecilkan hanya sampai materi, padahal semesta begitu luasnya.
Maka jangan heran kalau orang-orang mencari jalan pintas. Sekarang banyak anak muda ikut investasi tanpa tau seperti apa produknya, atau melakukan open BO (booking order) dan ini berlaku bagi perempuan dan lelaki. Yaitu pelacuran di ranah digital demi mendapatkan tambahan cuan agar bisa tampil hedon seperti idola mereka di media sosial.
Apakah kita bisa menghentikan orang-orang untuk tidak pamer kekayaan atau flexing? Tentu tidak! Yang bisa kita lakukan adalah menjadi pengguna media sosial yang berkesadaran penuh. Tahu bahwa semua yang tampil di media sosial tidak semuanya seperti kenyataannya. Bahwa yang ada di media sosial hanya tampilan di waktu tertentu dan hanya bagian kecil kehidupan. Bukan menunjukkan keseluruhan perjalanan hidup dan kehidupan mereka. Yang ditampilkan hanya yang indah saja, yang busuk simpan rapat-rapat jangan sampai ketahuan netizen. Kalau perlu dipoles agar nampak selalu indah di setiap postingan.
Punya media sosial butuh kesiapan mental
Mempunyai media sosial tidak cukup hanya dengan punya gawai canggih dan tahu bagaimana menggunakan fiturnya, tetapi kesiapan mental untuk menghadapi konten yang berseliweran secara sadar dan bijak. Tidak mengikuti arus algoritma yang memang sengaja membuat kita terpikat dan kecanduan. Dalam hal ini, aku setuju dengan Aa Boril alias Ariel Noah. Di salah satu tayangan youtube, Ariel menjawab pertanyaan apakah anaknya dibolehkan menggunakan media sosial? Dia jawab, anaknya saat ini masih dibatasi menggunakan media sosial dan masih dikontrol, walaupun usianya sudah memasuki usia legal untuk ber-medsos. Dia boleh menggunakan media sosial ketika secara mental sudah siap dan sudah cukup dewasa untuk menyikapi semua hal yang ada di media sosial.
Hal ini bukan hanya untuk anak, tetapi juga kita para orang dewasa. Apakah kita sudah bermedsos dengan kesadaran penuh dan mampu mengendalikan diri? Bukan media sosial yang mengendalikan kita. Seringkali justru orang dewasa ikutan latah menjadi fans garis keras seleb sosmed yang pamer kekayaan dan menjadi pembela yang membabi buta ketika idolanya dibicarakan negatif. Jadi gak heran jika banyak emak-emak yang kecebur dalam investasi gak jelas dan kehilangan uang tabungan sekolah anaknya karena ikut apa kata idolanya yang sibuk flexing di media sosial dengan privat jet sewaan.
Akhir kata, siapkan mentalmu ketika menggunakan media sosial. Bukan media sosialnya yang toxic, tapi penggunanya yang menjadikan ranah tersebut toxic. Jadilah pengguna yang waras, dan sadari masih banyak kehidupan lain di luar medsos.