Sudah lama saya ingin membantah–bukan membantah ya, karena tidak semua saya tidak setuju tulisan Glenn Marsalim di sini dan di sini–tetapi ada sebagian yang menarik untuk ditambahkan (pikiran) versi saya. Beberapa bagian saya sih setuju dengan Glenn.

Saya teringat pesan Om Budiman Hakim* ketika ngajar di kelas Akademi Berbagi, “tulislah minimal 1 buku sebelum mati.” Pesan itu begitu melekat di kepala saya. Padahal waktu itu belum tau mau menulis apa dan gak kebayang apakah ada yang mau menerbitkan buku karya saya.

 

Saya Akhirnya Menulis

Beberapa tahun kemudian saya telah menerbitkan 4 buku, 3 buku ditulis rame-rame dengan teman, karena saya belum pede dan belum mampu.

Buku tersebut adalah: The Single Moms, ditulis bersama 4 ibu yang sekaligus menjadi ayah untuk anaknya. Perempuan yang Melukis Wajah, kumpulan cerita pendek fiksi bareng 8 teman penulis lainnya dan Indonesia Jungkir Balik, kalau ini banyak pesertanya. Hingga akhirnya buku ke-empat terbit yang sepenuhnya adalah tulisan saya dengan judul KELAS. Ide buku tersebut adalah mendokumentasikan pikiran dan langkah saya dalam mendirikan kemudian menjalankan gerakan Akademi Berbagi.

Saya sempat berpikir cukup lama, kalau lagi bengong atau lagi gak pengin mikir kerjaan dan tugas sebagai orangtua. Benarkah saya menulis (buku, blog, dll) agar saya abadi atau menjadi dikenang ketika kelak saya mati? Benarkah pesan Om Budiman itu sepenuhnya saya amini?

 

Dalam pergolakan batin, ternyata saya tidak sepenuhnya setuju bahwa menulis adalah untuk dikenang.

Untuk bagian ini saya setuju dengan Glenn, saya tidak ingin abadi. Saya tidak ingin dikenang sebagai apa pun. Kalau sudah mati, ya sudahlah. Kasihan manusia di bumi harus mengingat saya, apalah diri ini, sedangkan jutaan urusan menanti untuk dipikirkan.

Mati, bagi saya adalah selesai sudah urusan dengan dunia. Tinggal urusan sama Yang Kuasa. Sambil berharap bakal dapat perjalanan yang penuh dengan pelukanNYA. Wallahu a’lam bishowab.

Sedangkan bagian yang berbedanya adalah betapa menakutkan bahwa apa yang kita tulis itu bakal dingat dan dibawa-bawa dalam pembicaraan beberapa tahun kemudian seperti yang dituliskan Glenn. Kalau masih relevan sih, kami bisa jemawa. Tetapi ketika sudah tidak sesuai, bagaimana malunya?

Saya setuju bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Menulis adalah mencatat untuk membantu mengingat karena kapasitas otak manusia yang minim dan kebanyakan galau.

Menulis itu mendokumentasikan pikiran, jejak dan langkah yang kita ambil pada masa tertentu. Apa yang kita pikirkan dan alami di masa kini tidak selalu cocok untuk masa depan. Dan justru itu pentingnya. Mendokumentasikan perubahan.

 

Apa yang kita tuliskan, benar atau tidak relevan lagi di kemudian hari, selalu ada manfaatnya.

Syukur-syukur bisa berguna untuk orang lain. Tetapi yang terpenting adalah berguna untuk diri sendiri. Kita bisa belajar bagaimana isi kepala kita bertumbuh, bagaimana kebijaksanaan itu diasah oleh perubahan kehidupan. Untuk mengingatkan bahwa saya manusia biasa. Apa yang dulu saya yakini benar, bisa jadi sekarang salah. Dan menurutku itu cara belajar mengenal diri sendiri. Konon setiap manusia, di antara jutaan keinginan dan harapan, mengenal diri sendiri adalah pengetahuan yang paripurna.

Buat orang lain penting gak penting. Yang utama sih, mereka tidak harus menjalani atau merasakan sendiri untuk tahu sesuatu, tetapi cukup dengan baca tulisan.

Waktu dan kemampuan manusia sangat terbatas, sedangkan ilmu hidup berlimpah ruah. Tidak bisa dilakoni semua. Kenapa sejarah itu penting, agar kita bisa belajar dan menyempurnakan ilmu untuk menjalani hidup tanpa harus melalui semuanya. Bisa sejarah orang lain maupun sejarah sendiri.

 

Karena ilmu tentang manusia itu tidak ada pakemnya.

Yang ada adalah referensi masa lalu yang kemudian dijadikan teori (dan belum tentu benar) untuk jadi guideline. Penting untuk kita punya guideline di antara ketidakjelasan masa depan sebagai arahan. Walaupun tidak selalu tepat, tetapi guideline menjadikan kita berani untuk melangkah. Itu yang terpenting. Toh manusia memang berjalan di antara salah dan benar.

Saya selalu ingat pepatah ini, pengalaman adalah guru terbaik, dan saya selalu menambahkan pengalaman teman adalah guru terbaik dan termurah.

Jadi ayo menulis, karena pengalamanmu siapa tahu bisa menjadi guru untuk orang lain dan murah. Jangan lupa, bacalah selalu tulisan Glenn yang semakin bijak (tua) karena pengalaman hidupnya layak untuk dijadikan pembelajaran.

 

Note: Budiman Hakim, praktisi senior di dunia periklanan, copywriter yang sudah banyak menghasilkan baik karya iklan maupun tulisan. Beberapa bukunya adalah: Sex After Dugem, Go West dan Gowes, Si Muka Jelek, Copywriting & Presentasi. Tulisan yang yang lain bisa dinikmati di blognya 
Glenn Marsalim, praktisi periklanan, kreatif dan sekarang menjadi pengusaha makanan dengan Nasi Ayam Jagoan. Cobalah dan terus ketagihan. Karya kreatifnya banyak berserak di media, silakan googling saja.

2 Replies to “Menulis: Mendokumentasikan Pikiran yang (Selalu) Berubah”

  1. Aku baru baca tulisannya Mbak Ai yang ini :) Senang bacanya. Setelah baca tulisan Glenn lalu dan tulisan Mbak Ai, iya ada hal-hal yang ‘se-frekuensi’ dengan yang selama ini aku rasakan dan pikirkan. Jadi lebih adem. Dan jadi ingin menulis lagi. *jadwalin waktunya dulu haha*

Tinggalkan Balasan