Jakarta menjelang senja.
Sore itu aku ada janji untuk bertemu dengan sahabat lama. Maksudnya lama adalah kami berteman sudah sangat lama dan dekat, tetapi kondisi Jakarta dan kerasnya kehidupan yang membuat kami jarang bertemu. Tetapi persahabatan yang telah terjalin lama membuat kita selalu “nyambung”. Cara kami menghabiskan waktu bersama adalah dengan diskusi seru tiada henti atau sekedar duduk berdua dalam diam sibuk dengan pikiran masing-masing – bukan sibuk dengan gadget – dan kedua hal tersebut sama menyenangkannya.
Setelah kami bertukar kabar masing-masing, tiba-tiba tanpa disadari kami membicarakan tentang kehidupan dengan cukup dalam. Dia bercerita tentang kesibukannya dan keasyikannya menekuni dunia silat. Dan karena dia sudah cukup senior, dia harus berguru kepada suhunya di Jogja. Dalam sebulan, 2 kali dia ke Jogja untuk berlatih. Kadang naik kereta ekonomi, bisnis, eksekutif, atau naik pesawat jika punya uang lebih. Bahkan dulu sering mengendarai mobil sendiri menyopir 12 jam non stop pp Jakarta – Jogja – Jakarta. Berangkat tiap Jumat dan kembali Sabtu malam sehingga minggu pagi sudah sampai di Jakarta lagi. Karena dia pegawai fulltime dan posisinya sudah cukup tinggi maka setiap Jumat dia mengambil jatah cuti. Kalau cutinya habis dia akan berlatih hanya hari Sabtu. Dia sendiri sudah berkeluarga dengan 5 orang anak. Sintingkah dia?
Kalau aku tidak cukup mengenal dia, maka aku akan bilang dia sudah gila. Walaupun apa yang dia lakukan cukup membuatku terhenyak. Apa gak capek, dan bagaimana dia membagi waktu dengan keluarga? Dia bilang, apapun yang terjadi Minggu harus sudah sampai Jakarta dan seharian itu dia tidak tidur atau istirahat tetapi menemani anak-anaknya bermain atau jalan-jalan bersama keluarga. “Itu adalah resiko yang harus aku tanggung, atas pilihanku menekuni hobiku ini.”
Apa yang dia lakukan, mirip juga dengan apa yang aku kerjakan di Akademi Berbagi. melakukan kegiatan sosial dengan rutin di berbagai wilayah, padahal aku sendiri adalah pekerja fulltime dengan pekerjaan yang cukup banyak dan masih harus menjalankan tugas pokok sebagai orang tua tunggal. Kami berdua kalau dipikir-pikir sama-sama sinting. Dan di luar sana, mungkin banyak yang seperti kami, melakukan hal-hal di luar tanggung jawab utama dengan dedikasi dan effort luar biasa. Bahkan aku pernah mendengar cerita salah seorang teman yang bekerja di luar negeri dan sebulan sekali baru bisa bertemu keluarga. Tetapi ketika di rumah dia malah sibuk membantu siapa pun yang minta tolong. Siapa pun! Ada yang permintaan tolongnya sungguh sepele seperti minta dibenerin HP-nya sampai membantu dalam konflik rumah tangga orang. Pada awalnya keluarga marah dan protes tetapi lama-kelamaan karena teman saya itu tetap bandel, keluarganya akhirnya cuek. Kenapa dia ngotot tetap melakukan itu? Jawaban dari ketiga orang itu, saya dan dua teman saya itu adalah: kami bahagia melakukannya. Seperti oase di gurun pasir, maka apapun kita jabanin.
Kalau begitu, apakah keluarga tidak penting? Pertanyaan ini seringkali susah untuk dijawab. Apa benar kami tidak peduli keluarga? Pembicaraan kita pun kemudian membawa kepada kesadaran kenapa kita melakukan itu semua. Dunia ini sakit, dan hidup ini sulit. Terkadang kita tidak berdaya, dan tidak punya pilihan untuk bisa menyelesaikan semua persoalan tetapi cukup menelannya saja. Ada hal-hal yang memang bisa kita kendalikan dan kemudian bisa kita selesaikan, tetapi banyak juga yang kita tidak bisa kendalikan dan tidak bisa diselesaikan. Sehingga kita pun harus menjalani dengan semua rasa sakitnya. Tidak jarang waktu akan membantu menyembuhkan segala rasa sakit. Karena di dunia ini tidak ada yang abadi bukan? Yang dibutuhkan hanya kekuatan untuk melampauinya sampai kemudian semua rasa sakit itu hilang.
Jika kita memegang erat terus semua “beban” kita akan kelelahan dan kemudian tidak menutup kemungkinan menjadi stress bahkan gila. Coba bayangkan ketika kamu mengangkat botol air mineral 1 liter, biasa aja kan? Tetapi ketika kita harus mengangkat terus menerus, gak sampai sejam tangan kita sudah pegal dan bahkan terkulai lemas. Kecuali jika kamu angkat kemudian di taruh, angkat lagi taruh lagi, lengan kita bisa cukup kuat untuk berjam-jam lebih lama.
Hal di atas sesungguhnya sebuah perumpaan atas kehidupan kita. Jika kita mengangkat “beban hidup” terus menerus tanpa jeda waktu untuk “meletakkan” sejenak, niscaya kita akan cepat kelelahan dan terkulai lemas dengan semua permasalahan. Tetapi jika jika punya jeda untuk “meletakkan” sejenak maka kita punya tenaga untuk mengangkat “beban” lagi dan mungkin bisa lebih jernih berpikir dan bisa mengurai beban sedikit demi sedikit. Kenapa teman saya setelah seharian menyetir mobil dari Jogja ke Jakarta bisa langsung jalan-jalan sama keluarga tanpa capek? Ya karena ke Jogja itu untuk meletakkan sejenak “beban” hidupnya sehingga punya amunisi lagi untuk melanjutkan perjalanan rutin hidupnya.
Akhirnya kami sampai pada kesimpulan bahwa apa yang kita lakukan adalah “mekanisme bertahan” dalam kehidupan dunia yang penuh persoalan. Ketika kita semakin dewasa, banyak masalah yang tidak bisa diselesaikan karena berbagai konsekuensi yang harus dipertimbangkan dan banyaknya kepentingan yang harus diutamakan. Solusinya, telan aja, jalani semuanya yang penting kehidupan tetap berjalan dengan resiko yang paling minimal untuk keluarga. Sakit, sudah pasti. Untuk itu perlu mekanisme bertahan agar kita tetap waras dan normal.
Berbeda orang, berbeda mekanisme bertahannya. Ada juga yang mekanisme bertahannya justru merugikan keluarganya sendiri sehingga semuanya semakin buruk. Tetapi kami berdua sadar, perjalanan hidup membuat kami mencari mekanisme bertahan yang tidak merugikan diri sendiri dan keluarga, karena justru semua itu kita lakukan agar kehidupan keluarga berjalan normal dan bahagia. Bahwa terkadang ada kalanya mengecewakan keluarga, itu tidak bisa dihindarkan. Yang penting apa yang menjadi sumbu hidup kita adalah keluarga dan mereka lah yang menjadi tujuan utama. Bukankah kita harus waras dulu untuk bisa menjaga keluarga kita?
Malam semakin larut, saatnya kami mengakhiri perbincangan ini dan kembali ke keluarga masing-masing. Dan pertemuan ini juga salah satu mekanisme bertahan kita untuk tetap waras dan bisa mentertawakan dunia.
Jakarta, hari itu hari Selasa, tempatnya di sebuah kafe di Selatan.
Bagus banget mba. Pengen nangis bacanya (T-T)
Looh ..jangan nangis :’) *peluk*
Suka sekali dengan tulisannya.. Ini benar seperti apa yang aku juga alami (tapi belum serutin mbak dan temannya) dan kupikirkan..
*peluk mbak Ai*
Terimakasiiiiiih Nat..*peluk erat*
ah, mungkin kelak saya bakal punya mekanisme bertahan ini..
mungkin…
aku tau rasanya, mbak. mekanisme bertahan, hmmm mungkin itu juga yg aku lakukan cuma gak nyadar ya? *nyengir*
bertahan bukan berarti mengalah sih, cuma menunggu waktu yang tepat untuk melangkah meninggalkan.. moving isn’t that easy, even if you should :D So, ya waiting for the right time it is!
thx sudah berbagi, Mbak..
*peluk balik yang kenceng*
tulisannya bagus-bagus mbak., yang ini bikin terharu :)
Septi: itu hasil ngobrol dan merenung bersama sahabat, karena hidup memang tidak mudah :’)
kalau saya ada dua pilihan ketika diberi “beban” air mineral 1 liter
1. diminum hingga habis
2. diberikan ke orang lain
dengan begitu mekanisme bertahan saya berjalan :D