Twit dari mas Iwan Setiawan ini kemudian memancing komen dan perenungan yang lumayan dalam.

@Iwan9S10A: Dude, sampai kapan harus terus “belanja” motivasi? Bukankah pahitnya hidup sdh cukup mjd cambuk utk maju?

Dan salah satu temanku Neny menjawab :

@nenyish @pasarsapi anak sekarang hidupnya ga sepahit hidup generasi kita mbak :)
@pasarsapi@nenyish hehee mungkin juga ya, atau paitnya beda?
@nenyish paitnya beda jugak :)  

 

Sahut-sahutanya di twitter ini membuatku merenung dari semalam hingga tadi pagi di kamar mandi. Apa betul anak sekarang tidak mengalami hidup yang “pahit” seperti kami atau “pahit” yang berbeda. Sebagai Ibu yang sering “cemas” maklum anaknya cuma satu selalu ingin anaknya baik-baik saja dan jalan hidupnya lancar jaya. Apakah itu yang membuat anakku dan anak yang lain hidupnya tidak pernah pahit sehingga perlu motivator untuk menyadarkan bagaimana menjalankan hidup.

Padahal dunia semakin ke sini menurutku semakin menyeramkan. Kondisi geografis dan lingkungan yang semakin tidak sehat, banyak bencana, penyakit aneh-aneh dan persaingan global, karena tidak ada lagi perbedaan geografis dan kedudukan. Semua orang bisa menjadi apa saja di mana saja. Bukankah itu hidup yang lebih berat dibanding dengan hidupku yang persaingannya masih terbatas lokal dan mengalami masa kecil jalan kaki sekolah, dengan udara bersih dan sepanjang jalan saling menyapa. Sehat bener. Bandingkan dengan anakku. Tinggal di apartemen tidak ada teman dan tidak saling mengenal dengan tetangga, perjalanan ke sekolah yang penuh perjuangan: naik ojek, macet, polusi, kehujanan dan waktu yang banyak terbuang di jalanan hingga tidak punya banyak waktu untuk bermain. di sekolah sendiri ada persaingan yang terkadang tidak lagi urusan pendidikan tetapi juga gaya hidup dan kepemilikan karena kesenjangan ekonomi di negeri ini luar biasa lebarnya. Di mana untuk hal itu, jelas anakku tidak bisa bersaing. Sebagai anak dari orang tua tunggal, dia harus menerima apa yang ada dan yang bisa disediakan oleh Ibunya tanpa protes karena memang tidak ada.

Dia harus mampu menahan diri untuk tidak “setara” dengan teman-temannya tanpa dia tahu persis kenapa. Dia berjuang keras dengan caranya sendiri untuk bisa diterima oleh teman-temannya sejak kecil! Disaat anak-anak sekarang lebih pintar dan lebih kritis, anakku bukan hanya harus pandai menempatkan diri tanpa diinjak tetapi juga harus bisa berbicara membela dirinya tanpa harus berbohong. Aku bayangkan itu tidak mudah. Ibunya tidak bisa intervensi membantu, anaknya harus berjuang sendirian.

Belum lagi urusan pendidikan yang karena sekarang jaman global, bebannya pun makin banyak untuk menjadi generasi yang unggul. Benar-benar persaingan dalam arti yang sesungguhnya.  Les ini les itu, buku ini buku itu, ikut ini ikut itu dan jadwalnya anak-anaknya gak kalah sibuk dari Bapak Ibunya. Semua demi mempersiapkan generasi yang tangguh. Dulu jaman seusia anakku, aku masih main di sungai, ke sawah, tertawa tanpa beban dan banyak waktu main dan berkumpul bersama keluarga. Gak mikir apa-apa hahaaa…

Hidup yang seperti itu kurang pahit ya? Entahlah. Yang pasti anakku mempunyai kehidupan yang layak, masih bisa jalan-jalan dan membeli barang yang diinginkan walau terbatas tetapi segala sesuatunya baik-baik saja. Di sisi lain dia harus berjibaku dalam lingkungan yang semakin kompetitif dan tidak ada pengalaman sosialisasi yang cukup tetapi harus bisa bertahan dan mampu menjadi diri sendiri yang mandiri dan mempunyai nilai lebih.

Mungkin pahitku dan pahit anakku berbeda, tetapi aku setuju hingga detik ini motivator terbaik adalah diri sendiri dan pengalaman hidupnya.

Doaku untuk anakku : semoga menjadi anak yang kuat, sabar, mandiri dan berani menjadi diri sendiri di mana pun. Tidak ada perjalanan yang mudah tetapi dia tau bagaimana caranya kembali berdiri dan berjalan lagi. Mempunyai hidup yang bermanfaat minimal untuk diri sendiri dan sekitarnya.

Pada akhirnya anakku hanyalah titipanNYA yang aku yakin Sang EmpuNya tidak akan membiarkan dia jatuh terpuruk selamanya, selalu ada tanganNya yang siap menggenggam.

 

7 Replies to “Motivatormu siapa?”

  1. pemikiran serupa juga beberapa kali terbersit di benak saya.. “Bagaimana nanti putri saya akan menjalani hidupnya?”
    jawaban singkatnya “mungkin bentuk tantangan yang akan dihadapi berbeda, tapi sebagai seorang bapak –orangtua, saya akan membantunya sebisa mungkin sesuai yang saya bisa lakukan. baik itu jika dia bertanya (langkah responsif), maupun jika dia tidak bertanya (langkah aktif).”

    *demi mewujudkan cita-cita sebagai #superdad untuk anak saya*

  2. kita berbagi kekhawatiran yang sama, mbak. yang bisa aku lakukan sekarang hanya berusaha sekuat mungkin menjadi ibu sekaligus ayah buat mereka, dalam segala hal. lumayan berat, tapi kalau ditanya “pahitkah hidupmu, pahitkah hidup kalian bertiga?”, dengan sangat percaya diri aku akan jawab “nope. not at all. kami baik2 saja, menikmati hidup yang manis ini dengan bahagia” :)

  3. anak dapat bertahan dalam menjalani hidupnya juga karena mendapatkan pembelajaran dari orang tuanya, lalu bagaimana dengan anak yang jauh dari orang tuanya. belajar dari lingkungannya? lingkungan anak2 sekarang mengkhawatirkan :(

    1. idealnya memang orang tua adalah guru pertamanya. kalo terpaksa jauh, kalo aku sih meminta bantuan keluarga : kakak, adik, ibu untuk membantu mengajar dan berada di dekat mereka. Lingkungan anak harus dijaga karena pengaruhnya luar biasa. Kata temen saya yang ahli pendidikan SD-SMP sebaiknya lingkungan dipilihkan yang paling baik dan sesuai, setelah SMA baru bisa dilepas di lingkungan bebas dengan asumsi dasarnya sudah kuat untuk bergaul di lingkungan :)

Tinggalkan Balasan