Tulisan ini dimuat di buku BRAND GARDENER karya Mas Handoko Hendroyono

Dulu, ayah saya pernah menasehati ketika saya menyerah belajar naik sepeda karena belum-belum sudah jatuh babak belur, “Nak, di dunia ini tidak ada yang tidak bisa kalau kamu mau.” Kata-kata itu selalu terngiang disetiap saya ingin menyerah terhadap sesuatu. Begitu pun ketika saya berhenti dari pekerjaan saya yang sudah 10 tahun saya geluti. Ada perasaan gamang, karena jenuh dan merasa tidak melakukan apa-apa, semua hanya sekedar bekerja untuk mencari nafkah. Keinginan untuk keluar kerja begitu kuat, tetapi di satu sisi ketakutan akan kehilangan zona nyaman juga terus menghantaui sehingga hampir 2 tahun terus bekerja tanpa berani melakukan perubahan. Hingga di satu titik ketika akhirnya saya memberanikan diri mengambil keputusan untuk berhenti dari pekerjaan saya dengan satu keyakinan bahwa pasti ada jalan kalau saya punya kemauan.

Beruntung saya generasi yang ikut menikmati sebuah perubahan berkomunikasi dan bersosialisasi yaitu melalui kemajuan dunia digital. Saya kemudian aktif memanfaatkan media social untuk menjalin relasi dan mencari informasi. Di situ saya terhubung dengan jutaan manusia yang sebagian besar tidak saya kenal sebelumnya dan banyak menemukan hal-hal baru. Saya ingin membuat perubahan dalam diri, dan salah satu caranya adalah dengan belajar. Teman-teman saya sempat bertanya, mau belajar apa di usia yang sudah cukup matang? Apa bisa mempelajari hal baru dan kemudian berkarya di bidang yang baru? Saya tidak bisa menjawab keraguan teman-teman saya, tetapi saya percaya jika saya belajar pasti akan mendapatkan sesuatu.

Dari 140 karakter, saya dipertemukan dengan orang-orang baik dan pintar. Keinginan saya untuk belajar kemudian terjawab di twitter. Suatu kali saya memberanikan diri bertanya kepada salah satu senior di bidang advertising Bapak Subiakto CEO Hotline Advertising di twitter, bahwa saya ingin belajar tentang copywriting dan di mana saya bisa belajar. Ternyata Pak Bi (Subiakto) merespon pertanyaan saya dengan cepat dan menjawab bahwa beliau berkenan mengajar copywriting asal saya mengumpulkan 10 orang dan GRATIS. Woow…saya kaget dan tentu saja senang. Tanpa berpikir panjang saya langsung umumkan melalui twitter juga siapa yang ingin belajar copywriting bersama Pak Bi silakan mention saya. Tidak sampai satu jam pendaftar yang masuk lebih dari 30 orang. Kembali lagi saya kaget, ternyata banyak juga yang ingin belajar. Akhirnya kelas pertama di mulai dengan murid 25 orang, sengaja dibatasi agar bisa belajar dengan lebih intensif. Ini terjadi setahun yang lalu di bulan Juni 2010.

Setelah kelas pertama, ternyata para murid masih ingin belajar sehingga dibukalah kelas-kelas berikutnya, dan tidak cuma Pak Bi. Saya mendapatkan tawaran guru dari orang-orang hebat yang membaca aktivitas saya melalui twitter. Setiap kelas yang terjadi saya selalu melakukan reporting di twitter atau istilah yang sering dipakai adalah live twit. Niat saya waktu itu hanya ingin berbagi ilmu yang saya dapat di kelas untuk teman-teman yang tidak dapat hadir karena kapasitas sudah penuh atau tidak memungkinkan ikut kelas. Ternyata live twit saya tidak hanya dibaca oleh murid, tetapi juga para guru, sehingga kemudian saya mendapatkan tawaran untuk membuka kelas dengan topik-topik yang lain. Misalnya Budiono Darsono, pemimpin redaksi detikcom menawari mengajar jurnalistik, Aidil Akbar tentang finansial, Enda nasution tentang social media dan dunia digital serta masih banyak guru-guru lainnya.

Kelas demi kelas bergulir hanya dengan niat mewadahi keinginan belajar yang ternyata banyak sekali peminatnya, tanpa direncanakan untuk menjadi suatu gerakan yang besar dan menyebar. Karena saya bisa merasakan kegelisahan teman-teman yang ingin belajar tetapi tidak tahu belajar kemana atau tidak ada biaya. Semua kelas yang saya adakan gratis, dan tempatnya pun berpindah-pindah tergantung siapa yang memberi pinjaman tempat dengan gratis. Begitu juga gurunya, tidak ada satu pun yang saya bayar, mereka dengan ikhlas menyediakan diri untuk menjadi guru dan berbagi ilmu karena mereka percaya ilmu semakin dibagi semakin bertambah dan memberikan manfaat bukan hanya untuk yang menerima tetapi juga untuk yang mengajar.

Suatu kali Budiman Hakim CEO MAXX advertising ketika mengajar di kelas copywriting, bertanya apa nama kegiatan ini. Saya bengong, karena tidak pernah terpikir untuk memberikan merk atas kegiatan ini. Kemudian beliau menganjurkan untuk memberi nama, karena menurutnya itu penting. gerakan sosial pun perlu branding. Akhirnya saya pun mencari ide untuk nama kegiatan ini. Waktu itu saya sedang browsing-browsing tentang training, menemukan kata academy yang kemudian membuat saya berpikir untuk memberi nama Akademi Berbagi. Kenapa berbagi, karena kegiatan ini sepenuhnya adalah berbagi, yang punya ilmu berbagi ilmu yang punya tempat berbagi tempat yang punya waktu dan tenaga berbagi menjadi relawan pengurus kelas. Dan nama akademi saya pilih karena saya ingin orang serius menjalani proses belajar walaupun gratis. Seringkali orang meremehkan yang gratisan karena dianggap tidak bermutu atau kampanye, padahal banyak sekali kegiatan gratis yang bermanfaat. Selain itu saya ingin mengajak teman-teman untuk lebih menghargai guru, dan guru itu bukan hanya yang mengajar di sekolah formal.

Nama itu kemudian saya pakai untuk mengiformasikan kegiatan ini di twitter, blog maupun facebook. Dan salah satu teman relawan memberikan usulan tagline : berbagi bikin happy. Entah kenapa saya senang dengan tagline itu karena saya memang senang menjalankan kegiatan ini. Kalau kita menjalankan segala sesuatu dengan senang hati makanya jalannya lebih mudah dan tidak menjadi beban walaupun tidak menghasilkan uang.

Dengan berjalannya waktu dan makin banyaknya kelas, saya tidak sanggup lagi menjalankan sendirian. Beberapa murid menawarkan diri menjadi relawan, dan teman-teman di twitter yang membaca kegiatan kami pun menawarkan diri untuk membantu. Dengan senang hati saya menerima tawaran bantuannya karena kegiatan ini bukan kerja sendirian tetapi kerja kolektif dari banyak orang, dan setiap orang akan bercerita apa yang mereka kerjakan sehingga bisa menginspirasi kepada yang lainnya untuk mau belajar, atau menjadi relawan dan guru.

Kekuatan ceritalah yang membuat kegiatan ini semakin besar. Masing-masing pelaku mempunyai cerita personal sesuai yang dialami dan dirasakan yang kemudian mereka sebarkan baik melalui social media seperti twitter, facebook, blog atau langsung kepada orang-orang disekitarnya sehingga semakin banyak yang terkena virus kebaikan Akademi Berbagi.

Saya tidak pernah meniatkan akan membesarkan kegiatan ini ke berbagai daerah, saya hanya menjalani dan menjaga supaya kelas demi kelas tetap berjalan dengan rutin dan konsisten. Karena di social media batasan geografis tidak ada, banyak teman-teman daerah lain yang ingin membuka kelas Akademi berbagi karena membaca twitteran kami. Saya tidak pernah menunjuk suatu daerah untuk membuka kelas, tetapi kesadaran itu datang dari mereka sendiri karena merasa membutuhkan wadah untuk kegiatan belajar. Hingga saat saya menulis ini, kegiatan Akademi berbagi ada di 21 kota : Jakarta, Tangerang, Depok, Bandung, Semarang, Solo, Jogja, Madiun, Surabaya, Malang, Madura, Jambi, Palembang, Medan, Balikpapan, Samarinda, Makassar, Gorontalo, Ambon, Bali, Ende dan selanjutkan akan dibuat di Singapore khusus untuk para TKI. Saya yakin masih banyak kota lain yang akan menyusul walaupun saya tidak mentargetkan. Kebutuhan untuk belajar dan mengajar ada pada setiap orang, karena sesungguhnya belajar itu kebutuhan dasar manusia sepanjang hayat dikandung badan. Tidak ada alasan lagi tidak ada biaya untuk belajar.

Kekuatan cerita kami telah menyebarkan virus kebaikan ini, sehingga setiap orang bisa menduplikasi gerakan ini dengan senang hati. Tidak ada satu pun yang dibayar, semua orang dengan sukarela mengerjakan ini karena memang kebutuhan dan happy. Di setiap kota ada Kepala Sekolah yang bertanggung jawab atas kelas-kelasnya dengan dibantu relawan lain atau kita sebut pengurus. Saya memang mensyaratkan setiap kota yang ingin menyelenggarakan kelas harus ada kepala sekolahnya dan harus mau menjaga komitmen untuk membuat kelas secara rutin. Jumlah murid yang hadir tidak menjadi ukuran, berapa pun murid yang datang harus diajar. Karena prinsip kami bukan jumlah murid yang banyak, tetapi ada satu orang saja yang ingin belajar maka kita wajib menyelenggarakan kelasnya. Ketika satu orang ini belajar dan mendapat tambahan ilmu maka kita telah memberikan manfaat buat orang lain.

Saat ini lebih dari 100 guru yang pernah mengajar dan hampir 100 relawan yang  terlibat secara aktif di Akademi Berbagi dengan background yang berbeda-beda baik profesi, usia dan pasti berbeda suku tetapi kini kami menjadi satu keluarga besar. Yang menyatukan kami adalah semangat ingin berbagi dan belajar. Kami semua percaya, belajar adalah kunci untuk maju dan belajar tidak kenal usia karena ilmu terus bertambah dan tidak ada satu orang pun yang menguasai semua ilmu. Akademi Berbagi menjadi wadah pertukaran ilmu dan belajar diskusi dengan sehat. Walapun gratis, kami tetap berusaha menjaga kualitas.

Di setiap kota kita mewajibkan ada guru lokal, kenapa? Karena kami percaya di setiap kota ada orang baik dan pintar yang mau mengajar, dan guru lokal lebih memahami kebutuhan daerahnya. Kita seringkali merasa guru yang hebat adalah yang dari Jakarta, padahal tidak semua. Banyak orang hebat di luar Jakarta dan sudah saatnya setiap daerah bangga dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Mereka harus percaya diri dan mandiri agar daerahnya maju. Sesekali kami mengirimkan guru dari Jakarta lagi-lagi dengan memanfaatkan social media. Di twitter kita seringkali mendapatkan informasi tentang keberadaan seseorang. Kalau ada potensial guru sedang berkunjung ke suatu daerah yang ada Akademi Berbagi-nya langsung kita todong untuk mengajar jika memungkinkan, jadi kita tidak mengeluarkan biaya transportasi dan akomodasinya.

Tidak semua guru kami kenal, bahkan lebih banyak yang tidak kenal kami tepatnya. Tetapi via twitter kita bisa langsung meminta atau mengajak orang untuk berkolaborasi serta berkontribusi di Akademi Berbagi. Apa tidak takut ditolak? Kenapa harus takut ditolak, toh kita tidak sedang melakukan kejahatan. Tetapi hampir semua guru yang kita minta mengajar tidak ada yang menolak, hal ini menunjukkan masih banyak orang baik di negeri ini. Dan salah satu orang penting di dunia digital sekaligus mentor saya, Pak Didi Nugrahadi pernah bicara begini: Semua orang itu baik sampai terbukti sebaliknya. Saya menaruh hormat yang sedalam-dalamnya kepada beliau.

Salah satu orang yang saya kagumi Rene Suhardono menuliskan dibukunya Your Job NOT You Carrier menuliskan tentang passion. Saya sebelumnya tidak begitu paham tentang passion, tetapi setelah membaca bukunya kemudian saya meyakini apa yang kami lakukan di Akademi Berbagi adalah sebuah passion. Kami melakukan dengan senang hati dan selalu bersemangat untuk membuat kelas demi kelas berjalan lancar dan setiap saat ada kemajuan yang akan kita capai bersama. Padahal kami tidak dibayar. Dan saya berterimakasih kepada salah satu relawan Yhanuar Probokusumo yang telah menciptakan tagline Berbagi Bikin Happy! Setiap membaca itu, kami semakin bahagia. Bukankah segala sesuatu akan lebih mudah jika dikerjakan dengan hati senang?

Setiap manusia diberi waktu yang sama, 24 jam. Yang membedakan adalah bagaimana memanfaatkannya. Bos saya yang dulu pernah memberikan arti kata sukses yang sebenarnya. Kata beliau, sukses itu adalah ketika kehadiranmu memberikan manfaat bagi orang lain. Kami tidak punya harta yang berlimpah, tetapi kami mempunyai semangat untuk menjadi sukses. Yang kita lakukan juga bukan hal yang muluk, tetapi sesuatu yang memang bisa kita kerjakan sesuai dengan kapasitasnya. Dan kami merasa menjadi manusia yang berarti dengan memberikan manfaat bagi sesama di Akademi Berbagi. Kami mengerjakan kegiatan ini disela-sela aktivitas utama yaitu bekerja mencari nafkah, atau belajar untuk yang relawan mahasiswa, atau mengasuh anak untuk relawan yang ibu rumah tangga. Dan hingga saat ini, kami masih bisa menjaga komitmen dan konsistensi kegiatan ini. Akademi berbagi tempat kami belajar tentang “komitmen dan konsisten”, 2 hal yang paling payah di negeri ini.

Sekarang saya mempunyai banyak teman dan jaringan, baik dari kalangan orang biasa maupun cerdik cendekia berkat Akademi Berbagi. Banyak ilmu yang saya peroleh, dan kesempatan pun semakin terbuka lebar. Saya pun akhirnya berani mencoba hal-hal baru dan berusaha menemukan apa yang menjadi passion saya dibidang pekerjaan. Menjadi relawan di Akademi berbagi bukan berarti pekerjaan menjadi terbengkelai, justru saya ingin membuktikan bahwa saya bisa lebih maju. Karena saya percaya untuk bisa membantu orang lain saya harus kuat, baik secara finansial maupun secara kepribadian. Begitu juga para relawan, mereka harus semakin kuat dan mandiri untuk bisa membantu lebih banyak orang lagi. Dan ini adalah PR besar kami semua para relawan.

Setiap orang punya mimpi, tetapi apakah setiap mimpi bisa diwujudkan? Belajar adalah salah satu cara untuk mewujudkan mimpi. Dan setiap mimpi harus “diturunkan” untuk dijalankan selangkah demi selangkah. Di akademi Berbagi kami ingin membantu mewujudkan mimpi di langkah awal yang paling sederhana yaitu belajar dan membangun relasi. Akademi berbagi bukan untuk menggantikan pendidikan formal, tetapi mengisi bagian kosong dan berjarak antara dunia pendidikan dan dunia karya. Kami menjadi jembatan untuk melanjutkan perjalanan mimpi dengan cara yang benar, sehingga kelak saya berharap tidak ada lagi mahasiswa yang lulus dan kebingungan mau berkarya di mana. Atau orang-orang yang seperti saya bekerja lebih dari 10 tahun tetapi tidak menemukan makna yang sesungguhnya, walaupun 10 tahun itu memberikan banyak pembelajaran dan pengalaman hidup yang sangat berharga. Hanya waktu yang tidak bisa kita ulang atau disesuaikan, sehingga harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kemajuan teknologi berupa internet memperpendek jarak, dan waktu sehingga kita bisa lebih optimal. Tidak ada lagi mimpi tinggal mimpi karena setiap mimpi harus diwujudkan.

 

“Berilah kaki disetiap mimpimu agar turun ke bumi dan berlari, jangan biarkan menggantung di awang-awang kemudian terbang dan menghilang.’

 

Jakarta, 29 Desember 2011.

 

 

Tinggalkan Balasan