Kota ketiga dalam rangkaian roadshow Shaum Sharing kali ini deg-degannya maksimal. Pertama saya belum pernah ke kota ini jadi belum kebayang akan seperti apa. Kedua, perjalanan sebelumnya sudah cukup menguras energi, ketiga perjalanan ke Labuhan Batu ditempuh naik kereta api dalam waktu -konon- 6 jam dan tidak menginap langsung kembali ke Medan untuk mengejar pesawat ke Palembang dengan kondisi puasa dan sudah cukup capek dalam kegiatan sebelumnya. Berharap tetap kuat dan tidak tumbang. Yang keempat dan paling stress jam jadwal pesawat ke Palembang mepet banget dengan jadwal tiba kereta ke Medan, sedangkan di Palembang jadwal sudah berderet dan mepet. Alhasil sepanjang perjalanan menuju dan pulang dari Labuhan Batu terus berdoa.
Pagi-pagi berdua dengan Budhita, sudah nongkrong di stasiun Medan menunggu kereta Sribilah yang akan membawa kami ke Labuhan Batu. Labuhan Batu dengan ibukotanya Rantau Prapat merupakan kota yang dikelilingi kebun sawit sehingga daerahnya panas dan kering. Waktu tempuh dari Medan menuju Rantau Prapat kurang lebih 6 jam, dan merupakan stasiun terakhir. Sepanjang perjalanan mayoritas pemandangan adalah kebun sawit berhektar-hektar. Kesannya pemandangannya hijau-hijau padahal dari jendela pun sangat terasa betapa panasnya di luar. Tidak tampak orang di jalanan atau keluar rumah. Duduk di kereta eksekutif Sribilah, cukup nyaman walaupun AC-nya kurang dingin. Mungkin karena udara luar yang terlalu panas.
Jam 2 siang, akhirnya sampai juga di Rantau Prapat kota dari Labuhan Batu, setelah singgah di lebih dari 6 stasiun. Kota kecil tapi cukup ramai. Kami dijemput Kepala Sekolah Bang Tatang Pohan dan istrinya. Begitu masuk ke mobil, baru deh terasa dingin. Perjalanan dari stasiun ke lokasi acara tidak terlampau jauh. Kelas Akber Labuhan Batu kali ini bakal diselenggarakan di sebuah panti asuhan. Berbeda dengan Lhokseumawe dan Medan. Ini menunjukkan salah satu misi Akber, bahwa belajar bisa di mana saja, tidak harus dalam gedung permanen, bahkan di panti asuhan pun bisa. Namira, nama panti asuhan anak yatim tersebut, memiliki aula yang cukup luas. Biasanya untuk sholat berjamaah, tempat belajar dan anak-anak makan.
Sambil menunggu kelas dimulai, saya pun melihat-lihat panti asuhan dan ngobrol dengan beberapa anak. Ternyata anak-anak panti cukup berani, setiap diajak ngobrol menjawab dengan lantang dan jelas. Mereka tidak segan didekati orang baru. Usianya dari TK hingga SMP, laki-laki dan perempuan. Melihat wajah-wajah anak-anak tersebut, saya pun terdiam. Betapa saya lebih berkecukupan dan bahkan berlimpah dibanding mereka, tetapi wajah anak-anak itu jauh lebih tampak gembira seakan tidak ada beban. Padahal mereka tidak punya bahkan mungkin tidak tahu orangtuanya. Lagi-lagi saya diingatkan dan ditundukkan. Sebelumnya saya banyak mengeluh kurang ini kurang itu, sibuk mengasihani diri sendiri. Duh, Gusti.
Kelas pun dimulai, dengan peserta sebagian besar mahasiswa, ditambah beberapa anak SMA dan SMK. Cukup mengejutkan, ternyata semua punya akun social media terutama : Facebook, twitter dan Instagram itu berarti memiliki smartphone atau laptop dengan koneksi internet. Bahkan ada beberapa anak yang sudah terbiasa belanja online di Facebook maupun Instagram. Sebelumnya, saya dikejutkan di Lhokseumawe sekarang di Labuhan Batu. Berarti penetrasi social media sudah masuk ke sebagian besar kota di Indonesia. Walaupun dalam menggunakan tidak seaktif anak-anak kota besar, minimal setiap hari mereka ngecek social media. Kebanyakan memang hanya membaca dan melihat, kurang menciptakan content. Salah satu peserta bahkan memiliki toko online di Instagram dengan pembeli dari berbagai kota termasuk di pulau Jawa. Pendapatan rata-rata perbulan Tiga Juta Rupiah.
Siapa bilang social media hanya di kota besar, ternyata di kota-kota kecil bahkan di luar Jawa banyak yang sudah menggunakan. Maka niat saya untuk berbagi ilmu memanfaatkan social media dengan cara yang benar dan optimal semakin bulat. Saya cukup kuatir dengan maraknya pengguna smartphone tanpa dibarengi kemampuan untuk menggunakan dengan bijak. Masih banyak yang menganggap smartphone atau social media hanya ajang lucu-lucuan bahkan mengumbar kontent yang buruk tanpa sadar bahwa itu media publik, semua orang bisa baca. Padahal banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh dengan adanya gawai di tangan.
Walaupun peserta di Labuhan Batu kurang interaktif, rata-rata masih malu bicara di depan umum, tetapi harapan saya mereka mendapatkan manfaat atas sharing saya dan mulai menggunakan social media dengan baik. Kemajuan setiap anak bisa diperoleh dengan akses internet yang ada, karena mereka terhubung dengan banyak ilmu dan informasi asal tahu cara menggunakannya. Begitu pun harapan saya di kota lainnya. Tidak ada lagi alasan, tinggal di kota kecil, karena dengan internet mereka sudah bisa mengakses banyak hal tanpa batasan geografis.
Kelas diakhiri dengan buka bersama bareng anak yatim. Walaupun menunya sederhana, tetapi ini buka puasa paling berkesan dalam roadshow Shaum Sharing. Anak-anak menggotong termos berisi es sirup markisa, dan membagikan dalam gelas-gelas plastik ungu. Semua dapat gelas yang sama. Selain es sirup markisa, juga disediakan potongan buah semangka, kue-kue dan nasi kotak. Anak-anak makan dengan lahap dan gembira. Celotehan terdengar di sana-sini. Membahagiakan bukan?
Usai kelas, seperti biasa dilanjutkan dengan meeting para relawan Akber Labuhan Batu. Beberapa kendala dan harapan disampaikan untuk dicarikan jalan keluarnya. Saya sangat paham, platform belajar model Akademi Berbagi masih dianggap “aneh” karena ada tempat, ijazah/sertifikat dan tidak berbayar. Mengajak orang untuk mau datang dan belajar merupakan problem terbesar di Labuhan Batu selain keterbatasan pengajar. Kebanyakan orang-orang yang cukup potensial merantau ke Medan atau kota besar lainnya. Tetapi semangat harus terus dibangun, semangat sekecil apapun harus terus dibangkitkan, karena perubahan bukan perkara satu dua tahun apalagi mengubah mindset orang. Selama masih ada semangat dari para relawan, maka perbaikan kualitas manusia akan terjadi walaupun membutuhkan waktu yang lama. Akan lebih ngeri jika tidak ada yang mau bergerak melakukan perubahan, karena siapa lagi yang peduli nasib saudara se-kampung kalau bukan kita sendiri.
Malam harinya, bersama para relawan Akber Labuhan Batu kami menikmati kedai kopi yang terkenal di Rantau Prapat. Setelah sebelumnya dalam rapat diputuskan pergantian kepala sekolah. Sebelumnya Pak Tatang Pohan selaku pendiri sekaligus Kepsek sudah menjabat lebih dari dua tahun. Saatnya regenerasi kepemimpinan. Semoga dengan Kepsek baru, kegiatan Akber Labuhan Batu semakin besar dan memberikan banyak manfaat. Di kedai kopi Akur kami ngobrol tentang berbagai hal. Dari soal kegiatan komunitas yang mulai terbangun sampai kebiasaan warga lokal. Salah satu minuman paling enak di kedai kopi Akur ini adalah kopi susu. Saya yang biasanya bermasalah ketika minum kopi, apalagi kalau kondisi gak fit, ternyata baik-baik saja dan malah jadi lebih segar. Malam pun makin pekat, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, saatnya kami harus naik kereta lagi melanjutkan perjalanan ke Medan untuk mengejar pesawat ke Palembang.
Saya tidak tahu kapan akan sampai ke Labuhan Batu lagi. Tetapi harapan saya cukup besar terhadap kota ini. Semoga para relawan gigih menjaga komitmen dan konsistensi. Perjuangan yang tidak mudah, tetapi ketekunan dan rasa gembira menjalankan akan menjadi amunisi melakukan perubahan. Banyak masalah berarti banyak jalan. Jangan menyerah teman-teman Labuhan Batu. Perubahan pasti akan datang. Tidak ada kabar yang lebih gembira melebihi kabar banyaknya anak-anak yang mau belajar sehingga pemuda potensial semakin banyak. Labuhan Batu akan semakin keren dengan banyaknya masyarakat lokal yang berkualitas. Semoga.
Rantau Prapat, 25 Juni 2015