Dalam sebuah diskusi beberapa kali muncul pembicaraan kenapa perusahaan atau brand tidak mau atau belum mau masuk ke social media. Mereka mengungkapkan ketakutannya, jika sudah nyemplung di social media berarti memasuki area terbuka yang siap ditembak lawan dan konsumen kecewa. Kemungkinan terjadinya krisis komunikasi makin besar. Dan belum punya formula untuk mengatasinya. Twitwar, fitnah, dan bullying di social media hampir tiap hari terjadi. Hal itu mengukuhkan betapa social media adalah “area menakutkan” bagi brand. Tetapi apakah betul begitu?
Social media adalah ajang berkomunikasi terbuka, semua orang setara. Siapa pun bisa berbicara dan ikut nimbrung, target market kita atau bukan. Tema yang dibicarakan pun beragam, masing-masing punya interest sendiri. Hukum timeline ku timeline ku, timeline mu timeline mu pun berlaku. Semua orang punya hak yang sama untuk menerima atau menolak informasi. Ada tombol unfriend, unfollow, block, report as spam. Lalu siapa yang bisa mengontrol semua itu? Sejujurnya tidak ada yang bisa mengontrol sepenuhnya. Dibutuhkan kematangan berkomunikasi serta kearifan masing-masing individu untuk menjaganya.
Social media sebagai media baru dan besar. Penghuninya lebih dari 1 Milyar akun dan terus bertambah. Khusus di Indonesia, penghuni Facebook saja sudah mencapai lebih dari 69 juta, belum social media platform lainnya. sebuah angka yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. apalagi para pemilik social media berbondong-bondong membuka kantornya di Jakarta, sebut saja Twitter, Facebook, dan yang akan menyusul Path. Mereka datang ke Indonesia bukan tanpa alasan. Indonesia dinilai sebagai pasar yang sangat besar dan potensial di dunia digital. Google bahkan sudah duluan bercokol di sini dan mengembangkan berbagai platform. Lalu kita sebagai pelaku industri di sini, apakah akan mengabaikan begitu saja? Apakah kekuatiran kita signifikan dengan peluang yang ada? Jangan-jangan sejarah terulang, kita hanya sebagai pengguna saja, negara lain yang mendapatkan bisnisnya.
Ketakutan para brand dan perusahaan bisa dipahami. Apalagi bagi bisnis yang sensitif, di mana issue sangat menentukan kondisi penjualan. Yang perlu dipahami, social media akan menjadi platform komunikasi bagi generasi muda dan di bawahnya. Mereka dari kecil mengenal dan biasa menggunakannya. Berkomunikasi di social media menjadi perilaku baru yang tidak mudah diubah, kecuali ada revolusi besar teknologi atau perilaku. Bahkan mungkin social media akan semakin canggih dan banyak hal bisa dilakukan di sana. Anak-anak adalah digital native yang nantinya akan menjalankan roda ekonomi. Social media sudah menjadi pasar, siapa saja dan dari mana saja bisa masuk dan berjualan. Apakah kita hanya duduk dan memandang saja? Atau sekedar meramaikan dengan posting status dan bagi-bagi foto sebagai sebuah kegiatan sosial antar teman dan saudara? Sementara milyaran uang mengalir di sana.
Lalu bagaimana jika brand masuk di social media? Bagaimana menjaga agar komunikasi brand kita tidak mengalami krisis dalam ajang komunikasi yang terbuka dan egaliter? Bisnis tidak boleh dipertaruhkan. Tetapi peluang harus dimanfaatkan. Jangan sampai kita ketinggalan kereta lagi. Infrastruktur di social media harus dibangun dengan cermat, pahami “arena pertempuran“. Dan ingat membangun infrastruktur di social media sebagai platform komunikasi yang bermanfaat memerlukan waktu. Social media bukan sulapan, walaupun banyak yang menawarkan jalan pintas. Social media adalah aset yang harus dijaga dengan strategi dan team yang tepat. Ini merupakan investasi bagi perusahaan, sama seperti investasi untuk membangun HRD departemen atau Public Relations. Hasilnya tidak bisa dilihat langsung dalam kenaikan penjualan, tetapi perannya sangat signifikan untuk menjaga bisnis tetap berjalan dan berkembang. Dalam kasus khusus, social media bisa menaikan penjualan secara langsung jika dari hulu ke hilir bisa dieksekusi di digital. Misal market place, e-commerce, online shop, e-trading, travel, airlines dsb.
Ketakutan dilawan dengan persiapan yang matang. Peluang yang besar sayang jika dilewatkan. Kita takut biasanya karena tidak paham. Jika kita memahami social media dan tahu bagaimana menggunakannya, maka ketakutan itu tidak perlu terjadi. Seperti halnya di pasar, selalu ada copet, tukang palak, preman, kompetitor, tukang fitnah, tetapi bukan berarti kita berhenti berjualan di pasar bukan? Ssssssttt…..saya bagi rahasianya, social media tidak semenakutkan yang dibayangkan bahkan bisa jadi tempat yang menyenangkan.