Gegap gempita issue pilkada dan demo sedemikian menguras perhatian kita. Setiap hari ada perdebatan dari kedua kubu yang pro dan kontra, haters dan lovers. Capek dan bosen melihatnya. Sepertinya gak ada hal lain yang perlu dibahas di negeri ini. Padahal masih banyak issue penting yang tidak boleh luput dari perhatian. Masalah tambang nikel dan bauksit, misalnya.
Masalah Tambang Nikel dan Bauksit yang Tak Pernah Menjadi Perhatian
Apa yang tidak ramai di media sosial, belum tentu tidak penting. Tetapi yang gegap gempita selalu mendapatkan panggung utama, penting atau gak penting.
Masih ada yang ingat UU Minerba (Mineral batu bara), smelter, larangan ekspor raw material? Sampai di mana akhirnya? Sepertinya ikut tergulung dan nyaris tidak mendapat perhatian. Padahal negeri ini, sebagian besar masih menggantungkan nasibnya pada sumber daya alam dan minerba.
Sebagai mana amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Keputusan pemerintah untuk melarang ekspor bahan mentah, termasuk hasil tambang nikel dan bauksit menuai reaksi pro dan kontra. Padahal sesungguhnya, ini adalah keputusan yang tepat karena mengembalikan kepada amanat UUD 1945. Dengan melarangnya, maka pemerintah berusaha memberikan nilai tambah atas bahan mentah sehingga nilai jualnya naik berkali lipat. Juga kesempatan membuka lapangan pekerjaan baru dan memberikan kesempatan industri lokal untuk mengembangkan produk turunannya.
Pro dan Kontra Peraturan Baru Tambang Nikel dan Bauksit
Hal itu patut kita dukung dan didorong implementasinya. Tetapi sangatlah wajar setiap perubahan menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pihak yang sudah nyaman dengan aturan lama pasti tidak terima dan sangat mungkin melakukan penolakan.
“Dengan cadangan hasil tambang nikel maupun bauksit yang masih melimpah, kesempatan Indonesia mengembangkan produk keduanya masih besar. Indonesia punya raw material itu. Jangan lagi kita kasih raw materialnya. Tapi harus sampai ke end product-nya. Supaya industri kita berkembang dan nilai tambahnya dapat. Jadi ekspor bijih nikel turun tapi digantikan dengan produk yang memiliki value added lebih tinggi” – Luhut B Pandjaitan Menko bidang Kemaritiman. Sumber : metrotvnews.com
Sepertinya kali ini pemerintah sudah keukeuh untuk tetap melakukan pelarangan ekspor hasil tambang nikel dan bauksit. Karena investasi smelter nikel akan memberikan nilai tambah yang signifikan. Apalagi nikel dan bauksit adalah komponen yang banyak dibutuhkan dalam berbagai peralatan hidup manusia. Sendok, garpu, wajan, bodi pesawat, senjata hingga baterei isi ulang HP membutuhkannya.
Sangat wajar jika pemerintah ingin memberikan nilai lebih atas hasil sumber daya alamnya. Apalagi Indonesia salah satu penghasil tambang nikel dan bauksit yang cukup besar.
Negoisasi dengan negara-negara yang selama ini bergantung pada ekspor nikel dan bauksit perlu dilakukan. Bagaimanapun juga mereka pasar penting yang tidak bisa diabaikan. Dalam konteks hubungan dagang, selalu ada jalan untuk “win-win solution” karena memang saling membutuhkan.
Selanjutnya kesiapan tenaga ahli dan infrastruktur sangat dibutuhkan agar cita-cita memberikan dampak ekonomi yang lebih besar atas UU Minerba bisa tercapai. Perubahan selalu menimbulkan goncangan dan rasa “sakit”. Tetapi justru dengan berani berubah maka kesempatan untuk menjadi lebih baik terbuka lebar. Tinggal berani atau tidak.