Saya sering dikatakan sebagai perempuan tangguh. Padahal saya sendiri tidak merasa tangguh, bahkan terlalu cengeng. Dikit-dikit ngadu, ngadu sama siapa saja, keluarga, teman,sahabat termasuk Sang Empunya. Minta macem-macem, nangis-nangis minta pertolongan-Nya. Padahal ibadah masih belepotan. Dimana ketangguhannya? Kalau saya bersyukur atas semua hal yang menimpa saya, baik senang maupun susah dan mengikhlaskannya itu baru tangguh.

Kemaren saya melihat potret perempuan tangguh yang sesungguhnya. Ibu saya. Beliau menjadi janda sejak berumur 42 tahun karena suaminya meninggal dunia setelah sakit kanker selama satu tahun lebih. Bapak saya meninggalkan 6 orang anak, semua masih sekolah dan hutang yang banyak kala itu karena untuk biaya berobat. Sepanjang hidupnya yang saya tahu, Ibu tidak pernah membicarakan kesulitan apapun. semua dijalani dengan tidak banyak bicara apalagi mengeluh. Padahal penghasilan tidak menentu dan ke-enam anaknya butuh biaya yang tidak sedikit.

Saya bahkan tidak pernah melihat ibu meneteskan airmatanya. Tidak pernah sakit, paling banter cuma flu. Kalaupun sakit flu, cuma tiduran dikamar tidak pernah ke dokter. Pernah satu kali, ibu jatuh dari dokar dan kakinya memar. Ibu hanya mengolesi dengan minyak sumbawa. Ternyata bengkaknya kian menjadi-jadi, akhirnya dibawa ke tukang urut. Tetap tidak mau ke dokter. Katanya ndak papa, nanti juga sembuh sendiri.

Dan kami pun menganggap biasa pergulatan ibu dengan hidupnya. Karena ibu menjalaninya dengan biasa saja. Padahal pernah dalam satu masa, utang ibu sudah jatuh tempo, dan pihak bank hendak menyita tanah dan bangunan milik kami. Itu baru kami ketahui setelah kami besar. Entah bagaimana caranya, rumah kami tidak pernah disita, dan utangnya semua lunas pada akhirnya. Alhamdulillah.

Perjalanan usaha ibu saya juga kami anggap biasa. Dulu kami pernah kaya karena usaha penjualan kayu milik orang tua maju pesat. Berhubung Bapak saya sakit, usahanya mengalamai kemunduran yang signifikan, karena uangnya tersedot semua untuk biaya pengobatan dan ibu saya menemani bapak berobat kemana-mana. Anak-anaknya masih kecil (dan tidak bisa membantu- catatan untuk saya kelak) sehingga usahanya terbengkelai. Setelah toko kayu bangkrut, ibu berganti usaha buka toko besi. Sepi. dan akhirnya tutup juga. Toko beserta tanah dijual untuk menutup hutang. Kemudian buka warung nasi dilain tempat. Pagi-pagi sekali ibu belanja ke pasar (anak-anaknya masih tidur-duh!) trus langsung masak di warung. Pulang jam 9 malam, jalan kaki ke rumah karena sudah tidak ada angkutan. Usaha jatuh bangun sudah sering, tapi ibu tetap berusaha. Segala macam bisnis dicoba, tidak ada kata menyerah.

Saat ini, ibu sudah lebih santai, tidak lagi berbisnis secara serius, karena semua anaknya sudah metas. Sudah mandiri. Beliau sekarang sibuk bikin TK murah di kampung. Jangan salah, bangunannya gak kalah bagus sama TK-TK di Jakarta. Ketika saya tanya uangnya dari mana? “Ya nyari..” jawab Ibu dengan nada biasa saja. Dan selalu ada dana untuk itu, entah bagaimana caranya. Dan kami masih menganggap biasa saja.

Juma’t dini hari, saya melihat ibu terduduk di kursi. Lesu..dan memejamkan matanya. Ketika saya tanya, kenapa Bu, sakit? Ibu hanya menjawab “masuk angin”. Semakin lama saya agak curiga, karena ibu saya termenung lama. Katanya susah tidur. Ibu saya masih biasa saja, tidak mengeluh dan tidak menunjukkan rasa sakitnya. Tapi saya punya feeling tidak enak, saya mencoba mendesak ibu. sampai kemudian ibu saya berbicara “mata saya tidak bisa melihat”. Byaar..! Hati saya rontok, air mata mengalir tiada henti. Saya minta kakak memaksa ibu ke dokter. Ibu masih biasa saja, tapi saya sudah nangis gak karuan.

Kami bawa ibu ke RS dan vonis dokter adalah ibu kena glukoma akut, harus operasi dan opname di RS. telat sedikit saja ibu tidak bisa melihat selamanya. Dokter agak heran bertanya pada ibu, apa tidak ada tanda-tanda sebelumnya, karena glukoma tidak datang tiba-tiba. Ibu pun bercerita bahwa selama ini beliau sudah merasa ada yang aneh dengan penglihatannya, tetapi katanya mau periksa nanti kalo sudah pulang ke kampung. saat ini ibu ada di rumah anaknya dalam rangka menengok cucu. Dan kami anak-anaknya terdiam, tergugu tidak ada penyeselan yang lebih besar dari hari itu. Kami tidak menyadari bahwa ibu sudah sakit sejak lama, dan tidak pernah mengeluhkan apa-apa.

Banyak hal telah terjadi, sakitnya ibu menyadarkan saya. Tidak ada perjuangan yang biasa dari seorang ibu. Semua luar biasa. Menemani ibu di RS, memandangi wajahnya yang kuyu, terkilas gambaran potongan-potongan perjuangan ibu di masa lalu. Dan kami tidak pernah menyadari betapa selama ini kami tidak pernah diajak dalam penderitaannya, kami tetap dibiarkan hidup normal dan wajar. Bahagia seperti layaknya anak-anak yang lain. Kami bisa kuliah semua sampai sarjana, kami juga bisa belajar bermain seperti anak-anak yang lain. Tidak kekurangan apapun. Kami telah salah selama ini. Menganggap apa yang terjadi dan dilakukan oleh ibu biasa saja.

Saya sekarang menjadi orang tua, dan apa yang saya alami tidak sedahsyat ibu. Selama ini saya sudah mengeluh, menyalahkan diri, marah atas hal-hal buruk yang terjadi pada diri saya. Merasa dunia mau runtuh, tidak sanggup lagi. Dan Tuhan Maha Baik. saya masih disadarkan dan diperlihatkan. Disadarkan bahwa penderitaan saya tidak ada apa-apanya, diperlihatkan perjuangan ibu yang selama ini kami anggap biasa ternyata sangat luar biasa. Dan kami, anak-anaknya masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memohon maaf pada ibu, menemani dan merawat ibu. Bukan untuk membalas, karena tidak sepadan tindakan kami dengan perjuangan beliau, tetapi diberi waktu untuk sedikit membahagiakan hati ibu. Kami bangga dan bahagia punya ibu dan kami ingin belajar hidup darimu, ibu.

One Reply to “Perempuan biasa itu tangguh”

  1. wow…
    speechless…

    restoe iboe…

    akoe ingat iboekoe..
    ingat istri…
    anak…
    dan saudara perempoeankoe…

Tinggalkan Balasan ke FansBeratIbuBatalkan balasan